Di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/12) lalu, suasana terasa tegang. Sidang lanjutan kasus dugaan penghasutan yang menjerat Laras Faizati itu diwarnai kehadiran dua pihak yang membacakan amicus curiae atau pendapat sahabat pengadilan. Mereka adalah aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan perwakilan dari LBH Pers, Gema Gita Persada.
Fatia yang maju pertama, bicara dengan nada tenang namun tegas. Dia merasa punya pengalaman serupa dengan Laras. Beberapa waktu lalu, Fatia sendiri pernah berurusan dengan hukum karena dituduh mencemarkan nama baik Luhut Binsar Pandjaitan lewat UU ITE.
"Pada tahun 2023, saya menjalani proses hukum yang sama seperti Laras," ujarnya.
"Dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan pada era kepresidenan Joko Widodo melalui UU ITE, Pasal 27 ayat 3, dan dinyatakan tidak bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur."
Menurut Fatia, pengalamannya itu jadi bukti. UU ITE yang dianggap karet sering dipakai untuk membungkam suara kritis. Banyak orang sekarang jadi takut menyampaikan pendapat. Padahal, dalam putusan kasusnya dulu, hakim sudah punya pandangan yang jelas.
"Majelis Hakim menukil perbahasa latin yang berbunyi cogitationis poenam nemo patitur," tutur Fatia.
"Artinya tidak seorang pun yang boleh dihukum karena apa yang dipikirkannya, hal mana sejalan dengan pernyataan ahli filsafat Rocky Gerung bahwa kebebasan berpikir bersifat absolut."
Dia melanjutkan, hakim dalam putusan itu juga menegaskan bahwa kebebasan berpikir dan berpendapat adalah hak dasar. Setiap pejabat publik, kata Fatia, harus siap dikritik. Itu konsekuensi logis dari jabatannya. Karena itulah, dia memohon dengan sungguh-sungguh agar Laras dibebaskan.
"Saya memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara nomor 675/Pid.Sus/2025/PN Jakarta Selatan atas nama Laras Faizati Khairunnisa untuk membebaskan yang bersangkutan dari segala bentuk jeratan hukum pidana," pinta Fatia.
Di sisi lain, LBH Pers lewat Gema Gita Persada punya pendapat serupa. Mereka berargumen bahwa seluruh pasal yang didakwakan ke Laras sebenarnya tidak terpenuhi. Alhasil, pembebasan adalah satu-satunya keputusan yang adil.
LBH Pers juga mendesak majelis hakim untuk menciptakan preseden baik. Mereka ingin ruang ekspresi yang aman bagi masyarakat benar-benar terwujud.
"Aksi Demonstrasi merupakan tindakan yang dijamin oleh konstitusi," tegas Gema.
"Sehingga upaya kriminalisasi melalui penggunaan pasal-pasal karet berupa UU ITE, pasal penghasutan dan delik-delik yang cenderung digunakan sebagai alat bagi kekuasaan untuk merepresi kelompok masyarakat kritis."
Artikel Terkait
Tsunami Usai, Jepang Kembali Bangkit dari Gempa 7,6 Magnitudo
Menteri Lingkungan Hidup Ancam 49 Daerah Abai dengan Sanksi Pidana
Gempa 7,6 Magnitudo Guncang Jepang, Peringatan Tsunami Dikeluarkan
Menteri Hanif Soroti Sawit dan Kerusakan Hulu di Balik Banjir Bandang Garoga