Oleh: Afna Mufani
Kalau kamu scroll Instagram, lihat deh. Bukan cuma foto makanan atau liburan lagi yang membanjiri "feed". Sekarang, ada yang lain. Ada yang lebih "mewah". Potret sajadah di hotel bintang lima, dokumentasi sedekah dengan amplop tebal yang tertata rapi, atau "story" dari Tanah Suci dengan latar yang sempurna. Dunia digital ternyata sudah mengubah cara kita beragama, atau setidaknya, cara kita "terlihat" beragama.
Inilah yang banyak disebut sebagai "religiosity flexing" semacam pamer kesalehan. Fenomena ini bukan cuma soal unggahan biasa. Ini tentang menampilkan aset keagamaan, amal ibadah, atau simbol-simbol religius dengan cara yang berlebihan, seolah ingin dikonfirmasi oleh orang lain.
Motifnya kompleks. Dari sisi psikologis, ya, manusia memang butuh diakui. Di media sosial, pengakuan itu datang dalam bentuk "like" dan komentar. Saat unggahan ibadah dapat sambutan hangat, rasanya seperti dapat validasi. Dopamin pun mengalir. Tanpa disadari, ibadah yang mestinya komunikasi privat dengan Tuhan, perlahan berubah jadi pertunjukan untuk dilihat manusia.
Di sisi lain, tekanan sosialnya juga nyata. Di Indonesia, citra sebagai orang saleh punya nilai jual tinggi. Bisa jadi modal sosial yang kuat. Jadi, "flexing" keagamaan ini seringkali adalah strategi. Strategi membangun "personal branding" agar lebih dipercaya. Dan kepercayaan itu, ujung-ujungnya, bisa dikonversi jadi modal finansial: lewat "endorsement" produk halal, undangan ceramah, atau keuntungan dalam bisnis. Batas antara dakwah tulus dan pemasaran diri jadi samar sekali.
Standar Saleh yang Bikin Minder
Nah, masalahnya mulai muncul di sini. Ketika kesalehan diukur dari kemewahan visual pakaian branded, latar eksotis di Makkah, atau perjalanan umrah yang super lengkap terciptalah standar yang tidak realistis. Seolah-olah jadi orang yang taat itu cuma bisa dilakukan oleh mereka yang punya duit. Prinsip dasar agama tentang kesetaraan di hadapan Tuhan jadi tergerus.
Yang lebih parah, ini bikin orang jadi gelisah. Ibadahnya jadi terasa kurang "sah" kalau tidak di-"upload" dan dapat apresiasi. Padahal, seharusnya ibadah itu membebaskan kita dari ketergantungan pada penilaian orang lain. Ironisnya, di era digital, kita malah terbelenggu angka "followers" dan statistik notifikasi.
Dampak jangka panjangnya mengkhawatirkan. Bisa terjadi pendangkalan iman. Ibadah dilakukan bukan untuk transformasi batin, tapi sekadar untuk dapat konten yang bagus. Ritual suci berubah jadi sekadar performa. Citra di dunia digital pun bisa jauh berbeda dengan realita sehari-hari. Seseorang bisa tampak sangat alim di "feed", tapi perilakunya di kehidupan nyata? Bisa jadi berbeda jauh. Ini lama-lama bisa memicu krisis kepercayaan.
Artikel Terkait
Pemerintah Siapkan Bantuan Rp 75,9 Triliun untuk Mahasiswa dan Dosen Korban Bencana Sumatera
Menteri Kritik Buku Anak: Petani Harus Ditampilkan Makmur, Ganteng, dan Cantik
Sabatu Ahruf: Rahasia Al-Quran Merangkul Ragam Dialek Tanpa Hilangkan Makna
Rumah Warga di Mempawah Ambruk Diterjang Ombak Ganas