Bagaimana Menjadi Pengusaha Sawit Tanpa Modal? Tebang Saja Hutannya.
(Sebuah Renungan Satir tentang Izin yang "Sah" dan Hutan yang Runtuh)
Oleh: Makdang Edi
Judulnya mirip iklan seminar online, kan? "Raih Kesuksesan Sawit, Tanpa Keluarkan Modal!"
Tapi ini bukan panduan. Ini cuma potret buram. Gambar tentang bagaimana aturan dan hukum di negeri ini justru memberi jalan mulus untuk menghancurkan hutan secara "resmi". Semua rapi, semua punya stempel.
Mari kita urai pelan-pelan. Bukan untuk ditiru, tentu saja. Tapi supaya kita paham betul pola yang, kalau dibiarkan, akan menggerogoti masa depan.
Pertanyaan besarnya: modalnya dari mana? Jawabannya sederhana: dari hutan itu sendiri.
Secara hitung-hitungan biasa, bikin kebun sawit itu mahal banget. Bayangkan, untuk satu hektar saja, biaya dari nol sampai tanaman berumur tiga tahun bisa nyentuh Rp 85 hingga 115 juta. Itu belum termasuk beli tanahnya.
Kalau mau buka lahan 10.000 hektar? Angkanya langsung melambung ke atas satu triliun rupiah. Bukan main.
Namun begitu, sistem kita punya "solusi" yang kreatif. Modal segitu tidak harus keluar dari kantong si pengusaha.
Ia bisa diambil duluan. Dari hutan.
Di sinilah logikanya mulai bengkok. Kenyataannya, banyak izin kebun justru mendarat di atas hutan alam yang masih perawan. Masih lebat, kayunya masih besar-besar.
Alasannya jelas. Hutan itu seperti mesin ATM raksasa. Menurut beberapa kajian, satu hektar hutan yang layak tebang bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan meter kubik kayu bernilai tinggi.
Ambil contoh sederhana. Katakanlah dari satu hektar didapat 100 meter kubik log. Setelah diolah jadi kayu lapis atau papan, nilainya bisa melonjak. Bahkan dalam bentuk kayu bulat saja, angkanya bisa mencapai Rp 100-150 juta per hektar.
Nah, lihat kan? Nilai kayu itu saja sudah bisa menutup biaya teknis pembukaan kebun sawit tadi. Dengan kata lain, hutanlah yang membiayai dirinya sendiri untuk dirubuhkan.
Dan semua ini sah-sah saja. Selama izinnya lengkap, administrasinya beres, nama perusahaan jelas. Tebangan itu tercatat sebagai kegiatan legal, bagian dari "pemanfaatan" lahan.
Di titik inilah tragedi itu terjadi. Yang ilegal dikejar-kejar. Tapi yang legal justru seringkali lebih merusak.
Artikel Terkait
Kuah Air Mata di Pengungsian Sawang: 12 Hari Usai Banjir, Bantuan Pemerintah Masih Tak Tampak
Pekanbaru Pacu 112 Titik Layanan untuk Genapi Makanan Gratis bagi 298 Ribu Siswa
Enam Kukang Sumatra Kembali ke Hutan Lindung Lampung Setelah Diselamatkan dari Perdagangan Ilegal
Tim Ahli China Bawa Alat Deteksi Jenazah untuk Korban Banjir Bandang Aceh