Pembalakan liar skala kecil memang harus ditindak. Tapi kerusakan paling masif justru datang dari suara chainsaw dan backhoe di dalam konsesi yang punya segudang dokumen resmi.
Skemanya kira-kira begini, kalau mau disindir:
Dapatkan izin sawit di kawasan berhutan. Pastikan hutannya masih bagus. Tebang habis secara legal. Jual kayunya. Pakai uang hasil jual kayu itu untuk biaya land clearing, beli bibit, pupuk, dan perawatan tiga tahun. Setelah itu, tinggal tunggu sawitnya berproduksi. Untungnya bisa dinikmati dua puluh tahun lebih.
Modal awalnya dari mana? Sebagian besar dari hutan yang sudah rata itu.
Tak ada pasal yang dilanggar. Tak ada pelanggaran hukum yang kentara. Semuanya berjalan sesuai aturan main.
Di atas kertas, ini disebut investasi. Tapi secara moral, ini privatisasi keuntungan. Keuntungan dari menjual aset publik, sementara kerugian ekologisnya ditanggung bersama oleh rakyat.
Parahnya, hitungan finansial tadi cuma mencakup kayu dan sawit. Ia sama sekali mengabaikan hal-hal lain yang ikut musnah.
Penyangga air yang hilang. Ancaman banjir dan longsor di hilir yang makin besar. Keanekaragaman hayati yang punah. Emisi karbon yang melonjak dan memperparah iklim. Serta, ruang hidup satwa dan komunitas adat yang hancur berantakan.
Tidak ada angka dalam dokumen perizinan yang memuat biaya untuk semua kehancuran ini. Hutan cuma dilihat sebagai kubikasi kayu, padahal ia adalah sistem kehidupan yang nilainya tak terhingga.
Bahasa ekonominya: kita menjual hutan terlalu murah. Terlalu murah sekali.
Bahasa nuraninya: kita menggadaikan masa depan anak cucu demi keuntungan sesaat segelintir orang.
Lalu, harus bagaimana?
Tulisan ini jelas bukan untuk mengajarkan cara. Justru sebaliknya, ia ingin menunjukkan betapa bobroknya logika yang kita biarkan berjalan begitu saja.
Kalau memang serius ingin menyelamatkan sisa hutan, beberapa hal harus diubah. Dan perubahan itu harus berani.
Izin perkebunan seharusnya tidak lagi dikeluarkan untuk kawasan hutan alam primer. Nilai kayu dari hutan yang sudah terlanjur ditebang harus dikembalikan untuk pemulihan lingkungan, bukan cuma jadi laba privat. Aturan hukumnya harus dibalik: bukan hutan yang membiayai sawit, tapi seharusnya sawit yang membiayai restorasi hutan.
Sampai hari itu benar-benar tiba, judul "cara jadi pengusaha sawit tanpa modal" akan tetap relevan. Bukan sebagai kiat bisnis, tapi sebagai bukti kelam dari sebuah sistem yang membiarkan hutan membayar ongkos keserakahan kita.
Penulis adalah seorang penggiat pendidikan dan pemerhati sosial lingkungan.
Artikel Terkait
Panggilan Xi-Trump dan Langkah Jepang: Taiwan dalam Pusaran Narasi Pascaperang
221 Jenazah Korban Bencana Sumatera Masih Misteri, Polri Tambah Cold Storage
Pondok Krapyak Serukan Harmoni, Tegaskan Dukungan Penuh untuk Pimpinan NU
Mashaal Serukan Aliansi Global dari Istanbul untuk Palestina