Di sisi lain, ekonom Ichsanuddin Noorsy ikut angkat bicara. Ia mengklaim punya informasi dan data yang cukup lengkap tentang operasional industri di Morowali. Mulai dari rekrutmen, kondisi pelabuhan, sampai soal selisih data ekspor-impor Indonesia dan China.
Bagi Ichsanuddin, isu bandara sebenarnya bukan masalah inti. Itu cuma gejala dari persoalan yang jauh lebih besar.
Yang justru bikin dia khawatir adalah kondisi pelabuhan laut di kawasan itu.
“Yang paling berbahaya menurut saya justru isu seaport, ujungnya soal bea cukai dan soal imigrasi,” katanya pada hari yang sama.
Menurutnya, pelabuhan itulah sumber risiko terbesar karena diduga beroperasi tanpa pengawasan yang seharusnya. Lebih parah lagi, akses ke kawasan IMIP disebutnya sangat tertutup. Bahkan bagi pejabat daerah sekalipun. “Bupati maupun gubernur pun tidak bisa masuk ke area tersebut,” ungkap Ichsanuddin.
Ia juga menyoroti data rekrutmen yang menurutnya masih berjalan hingga tahun ini. Ribuan tenaga kerja asing masih didatangkan, dengan gaji yang dibayar dalam yuan angka nya tidak kecil.
“Data yang saya punya, mereka masih merekrut, gaji minimal 8.000 yuan, ada yang sampai 20.000,” ungkapnya.
Lalu, pertanyaan besarnya: bagaimana mungkin tenaga kerja sebanyak itu bisa masuk, jika bandara dan pelabuhan di kawasan tersebut dikelola dengan cara yang begitu tertutup? Itulah yang kini coba diurai.
Artikel Terkait
DPR Buka Keran Dana Darurat untuk Tangani Bencana di Tiga Provinsi
Prabowo: UUD 1945 Tak Boleh Hanya Jadi Mantra di Mulut
Gempa 2,0 Magnitudo Guncang Cianjur Dini Hari, Getaran Terasa hingga Skala MMI III
Garda Depan Pasgat Resmi Dibangun di Papua