katanya dengan nada prihatin.
Nah, persoalan besar kedua dan ini yang menurut Gus Faris jadi akar konflik sebenarnya adalah soal pengelolaan tambang. Isu inilah yang memicu munculnya banyak faksi di dalam PBNU.
Ia menegaskan, konflik yang terjadi sekarang bukanlah tentang langkah Gus Yahya mengundang tokoh Yahudi, Peter Berkowitz, ke Indonesia. Itu cuma kulitnya. Intinya adalah berebut kendali atas pengelolaan tambang.
”Soal isu Yahudi hanya kamuflase semata. Ini soal pengelolaan tambang yang memunculkan berbagai faksi. Mereka semua menginginkan pengelolaan tambang yang diberikan Presiden Jokowi kepada NU, ini sesuai dengan keinginan mereka masing-masing,”
ungkapnya blak-blakan.
Sayangnya, pergerakan para elite ini, dalam pandangannya, sama sekali bukan untuk kesejahteraan NU sebagai organisasi. Motifnya lebih ke kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing. Padahal, ada ironi besar di sini.
Pada 2012, Lembaga Bahsul Masail NU sendiri sudah memutuskan bahwa pengelolaan tambang oleh swasta itu haram hukumnya. Lalu, di 2024, PBNU justru menerima ‘hadiah’ pengelolaan tambang dari Presiden Jokowi.
”Dan itu diamini oleh ketua PBNU, Sekjen PBNU, dan Rais Aam PBNU. Lucu…! NU yang membuat hukum, NU sendiri yang melanggarnya,”
Gus Faris menyindir.
Ada satu lagi ironi yang ia soroti. Ia mengutip pernyataan Mahfud MD, bahwa dulu di era KH Hasyim Muzadi, NU bersama Muhammadiyah pernah meminta MK membubarkan lembaga pengelola tambang karena dianggap sarang korupsi triliunan. Permintaan itu dikabulkan dengan dibubarkannya BP Migas.
”Ironisnya di hari ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berkonflik gara-gara pengelolaan tambang,”
pungkasnya. Sebuah penutup yang menyisakan banyak tanda tanya.
Artikel Terkait
Banjir Sumatra: Saat Air Bah Menguji Iman dan Nurani Manusia
Wartawan Diusir dan Diancam Saat Selidiki Dugaan Keracunan Makanan di Ngawi
Banjir Aceh dan Menteri yang Menyebut Gelondongan Kayu Telanjang
Ibu Terpidana Suap Hakim Akhirnya Dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu