Pandangan senada disampaikan Fajri Al Farobi, salah satu narasumber dalam konsolidasi itu. Baginya, tradisi NU hanya bisa hidup kalau dialog dibuka lebar-lebar.
“Islah itu jalannya para kiai. Kalau pintu dialog ditutup dan keputusan cuma diambil sepihak, ya itu bukan lagi tradisi NU,” katanya.
Forum konsolidasi ini, lanjutnya, pada dasarnya adalah gerakan moral. Tujuannya satu: memastikan NU tetap berada di rel yang benar.
Pertemuan dua hari itu akhirnya melahirkan sejumlah pernyataan sikap. Mereka menolak keras segala bentuk kesewenangan di tubuh PBNU dan segala tindakan yang mengabaikan AD/ART. Peserta juga meminta agar kiai dan pengurus tidak mudah terpancing fitnah sebelum melakukan tabayyun, klarifikasi, secara seksama.
Mereka menegaskan, langkah ini bukan pembangkangan. Ini upaya untuk menegakkan kembali tradisi jam’iyah yang selalu dibimbing kiai sepuh. Nama-nama pesantren besar seperti Ploso dan Tebuireng disebut sebagai simbol sanad keulamaan yang harus dijaga.
Harapannya, suara dari kader muda ini bisa jadi pengingat bagi semua pengurus. Agar NU tetap khidmat pada umat, menjaga persatuan, dan merawat marwah organisasi di tengah dinamika internal yang tak bisa dihindari.
Artikel Terkait
Banjir Aceh dan Menteri yang Menyebut Gelondongan Kayu Telanjang
Ibu Terpidana Suap Hakim Akhirnya Dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu
Cek Rp 3 Miliar untuk Mahar, Kakek Pacitan Berakhir di Tahanan
Jenazah WNI Korban Kebakaran Hong Kong Terganjal Regulasi Setempat