Idealisme yang Tergadaikan: Saat Harga Diri Dipertaruhkan di Tengah Kemajemukan

- Kamis, 04 Desember 2025 | 10:25 WIB
Idealisme yang Tergadaikan: Saat Harga Diri Dipertaruhkan di Tengah Kemajemukan

Maka, inilah saatnya kembali ke dasar.
– Kembali pada sikap yang konsisten.
– Kembali pada keberanian untuk tak larut dalam arus.
– Kembali pada ketegasan menempatkan kebenaran di atas kepentingan sesaat.

Semua itu berdiri di atas fondasi besar yang tak boleh ditinggalkan: penghormatan pada kemajemukan dan nilai-nilai luhur yang menyatukan kita sebagai manusia.

Pada akhirnya, segala refleksi ini membawa kita pada satu kesadaran. Bahwa kita sedang menuju gerbang kebaikan. Setiap pilihan, setiap sikap, setiap keberanian untuk bilang “tidak” pada keburukan, adalah langkah kecil yang menuntun kita pada ruang batin yang lebih jernih dan bermartabat.

Gerbang kebaikan tak pernah terbuka bagi mereka yang menjual nurani di persimpangan jalan. Ia hanya menyambut mereka yang menjaga kemurnian niat, menegakkan nilai meski harus berjalan sendiri, dan tetap teguh dalam kejujuran saat banyak orang tergoda bertopeng. Kebaikan bukan soal tampilan. Ia soal keberanian bersikap di saat nilai-nilai diuji.

Jangan pernah abaikan martabat. Itu harta yang tak bisa dicuri, diwariskan, atau dipaksakan. Martabat hanya bisa dibangun oleh sikap yang konsisten dengan nilai yang diyakini. Itulah bukti bahwa seseorang tidak mudah dibeli keadaan, tidak mudah digoyahkan keramaian, dan tidak mudah dibungkam iming-iming kepentingan sesaat.

Dan jangan pernah abaikan sikap yang hakiki. Sikap semacam itu lahir dari jati diri moral yang teruji, bukan dari tekanan luar. Ia tidak dibuat untuk menyenangkan siapapun, tapi untuk memastikan kita tak kehilangan arah hidup. Sikap hakiki memungkinkan kita berdiri tegak dalam badai, menjaga prinsip di tengah kebisingan, dan tetap waras dalam hiruk-pikuk kepalsuan yang kerap dirayakan.

Di zaman batas antara benar dan salah makin kabur, mempertahankan martabat dan sikap hakiki bukan cuma keutamaan. Itu adalah bentuk perlawanan moral. Perlawanan terhadap ketakutan, tekanan, manipulasi, dan terhadap diri kita sendiri yang kadang lelah untuk tetap jujur.

Jadi, bila tujuan kita adalah kebaikan, keadilan, masa depan yang tak dipenuhi kepalsuan, maka kewajiban kita cuma satu: jaga martabat dan sikap seutuhnya, tanpa tawar-menawar. Sebab kebaikan tak pernah tumbuh dari kompromi yang melemahkan nurani. Ia lahir dari ketegasan memilih jalan yang benar, walau jalan itu sunyi.

Gerbang kebaikan selalu terbuka tapi hanya bisa dilalui oleh mereka yang tak pernah menggadaikan harga diri.

Sejarah nanti tak akan mengingat berapa besar keuntungan yang kita dapat. Sejarah hanya akan mencatat apa yang kita pertahankan saat nilai-nilai kita diuji. Semoga kita bukan bagian dari mereka yang menjual idealisme demi kenyamanan sementara. Semoga kita jadi bagian dari mereka yang paham bahwa idealisme itu bukan beban, melainkan martabat. Dan semoga, di tengah segala perbedaan, kita tetap sadar bahwa kemajemukan dan nilai luhur adalah pilar yang harus dijunjung. Bukan untuk kepentingan kelompok tertentu, tapi demi keluhuran bersama. Tabik.

")Aendra Medita, Jurnalis Senior dari Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK)


Halaman:

Komentar