Sudah hampir seminggu berlalu, tapi kondisi di Aceh Timur masih sangat memprihatinkan. Bupati Iskandar Usman Al-Farlaky dengan suara lirih bercerita, warganya sempat kelaparan. Dua hari dua malam mereka kesulitan mencari makan, terkurung oleh banjir bandang yang melanda sejak Jumat lalu.
Masalah utamanya adalah akses yang putus total. Jembatan penghubung di Kecamatan Peudada, Bireuen, ambrol. Rute darat dari Banda Aceh pun terhenti. Akibatnya, bantuan logistik macet, belum bisa menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
“Dari Sumatera Utara atau Medan juga tidak bisa akses karena terputus juga di Aceh Tamiang,” ujar Iskandar, Rabu (3/12).
Laut sempat jadi harapan terakhir. Tapi itu pun tak semudah membalik telapak tangan.
“Jadi ada bantuan dari swasta, ada bantuan dari Kemensos dan dari teman-teman yang lain itu harus dipasok melalui Belawan, Medan. Tapi itu dengan menggunakan kapal perang,” jelasnya.
Namun begitu, jadwal kapal perang itu sendiri bergantung pada keputusan TNI AL dan tentu saja, kondisi cuaca yang tak menentu. Semuanya serba tak pasti.
“Nah, hari ini kita baru bisa daratkan bantuan dari salah satu kapal perang yang kami daratkan di laut. Dan barangnya kita jemput menggunakan boat nelayan,” tutur Iskandar.
Alasannya sederhana tapi menyiratkan keterbatasan infrastruktur: kapal perang tak bisa bersandar karena Aceh Timur tidak punya pelabuhan yang memadai.
Artikel Terkait
Gaji Petugas Sapu Asal China di Morowali Tembus Rp18 Juta, Pekerja Lokal Meradang
Kompensasi Rp1,7 Miliar untuk Keluarga Korban Kebakaran Apartemen Pekerja Migran di Hong Kong
Menteri Lingkungan Hidup Buka Suara: 43 Ribu Hektar Hutan Sumatera Lenyap Picu Banjir Bandang
Satelit Tangkap Lanskap Hancur Usai Banjir Bandang Melumat Sumatera