“Secara status hukum, lahannya mungkin sudah berubah jadi non-hutan. Tapi faktanya, di lapangan, itu masih hutan,” jelas Rianda.
Ia melanjutkan dengan nada prihatin, “Yang terjadi kemudian, oknum-oknum memanfaatkan celah ini. Jual-beli lahan dan penebangan dilakukan seenaknya, tanpa kendali.”
Di sisi lain, WALHI mengaku tak main-main dengan tuduhannya. Mereka mengumpulkan bukti lewat data Google Earth yang bisa diakses siapa saja. Peta perubahan tutupan lahan dari tahun ke tahun itu disiapkan untuk mengantisipasi sangkalan pemerintah, seperti yang kerap terjadi dalam kasus serupa sebelumnya.
Menariknya, WALHI justru melihat secercah harapan dari desa-desa yang bekerja sama dengan mereka. Di sana, masyarakat menerapkan pengelolaan hutan secara partisipatif. Mereka mengandalkan mekanisme adat yang telah dijaga ratusan tahun. Praktik ini, bagi WALHI, adalah bukti nyata bahwa masyarakat lokal sebenarnya lebih paham cara menjaga ekosistem dibandingkan dengan kebijakan pemerintah yang kerap abai.
Jadi, pertentangan ini bukan sekadar perdebatan kata-kata. Ini soal cara memandang akar masalah dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Artikel Terkait
Tamiang Terisolasi Total: Kantor Pemerintahan dan Polres Tenggelam dalam Lumpur
Gus Ipul Tegaskan: Penyandang Disabilitas Harus Jadi Prioritas dalam Tanggap Darurat
Jabar dan PUPR Sepakati Kerja Sama, Citarum Masuk Prioritas
Stok Cuma di Atas Kertas, Warga Sumut Teriak: Sudah Lima Hari Tak Ada BBM!