Bayangkan jika prinsip ini benar-benar dijalankan. Mungkin bencana tak akan separah sekarang. Kawasan resapan tetap hijau, sungai mengalir leluasa, gunung tak digunduli. Masyarakat pun tak harus berulang kali jadi korban dari keputusan yang hanya memikirkan hari ini.
Banjir di Sumatera itu cermin nyata. Kita sudah terlalu jauh menyimpang dari aturan Allah. Dan sejarah menunjukkan, setiap manusia meninggalkan syariat-Nya, alam akan menagih konsekuensinya. Tapi di balik musibah, selalu ada pintu untuk berubah. Kesempatan untuk kembali pada sistem yang menyeimbangkan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti memandang bencana sekadar sebagai “ujian hidup” yang pasrah diterima. Ini lebih dari itu. Ini undangan untuk introspeksi, untuk kembali pada aturan yang benar. Selama kebijakan kita lahir dari nafsu dan kepentingan segelintir orang, bukan dari tuntunan syariat, maka alam akan terus mengingatkan kita. Dengan caranya sendiri.
Kita pernah punya peradaban yang mampu memimpin dunia sekaligus menjaga kelestarian bumi. Itu bukan mimpi. Itu bisa terwujud lagi, jika kita berani menata hidup dengan aturan dari Allah, bukan aturan buatan manusia yang penuh cela.
Wallahu a’lam bishowab.
Artikel Terkait
Setelah 21 Tahun Hilang, PMI Korban Penyekapan Masih Tertahan di Malaysia
Supermoon Picu Ancaman Banjir Rob di Pesisir Lampung, Warga Diminta Siaga
Jembatan Ambrol, Warga Tapanuli Tengah Bangun Akses Darurat di Tengah Banjir
Rapat Nataru DPR Batal, Menhub Terjun Langsung ke Lokasi Bencana Sumatera