"Ah, perempuan kan ujung-ujungnya kembali ke dapur juga."
Kalimat itu melayang di tengah obrolan keluarga, dikira canda. Suasana langsung berubah. Ada yang cuma bisa cekikikan, ada yang diam seribu bahasa. Beberapa wajah tampak tak enak, tapi sepertinya tak ada yang berani membantah. Cuma satu kalimat, tapi dampaknya terasa sekali.
Fenomena serupa ternyata merajalela di dunia digital. Coba lihat saja, setiap kali ada perempuan yang menonjol atau menduduki posisi penting, pasti muncul komentar-komentar merendahkan. Seolah-olah, apapun pencapaiannya, perempuan harus selalu diuji dan dibandingkan dengan standar laki-laki. Padahal, perjuangan untuk kesetaraan gender sudah berlangsung puluhan tahun. Namun begitu, stereotip dan bias lama ternyata masih bersembunyi nyaman dalam percakapan kita sehari-hari.
Menurut sejumlah ahli sosiologi, ketimpangan ini bisa dijelaskan lewat teori gender sebagai konstruksi sosial. Sosiolog feminis Ann Oakley, misalnya, punya pandangan menarik.
Ia berpendapat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan ditentukan oleh kemampuan biologis semata. Justru, proses sosial-lah yang membentuk dan menetapkan apa yang "seharusnya" dilakukan oleh masing-masing gender.
Nah, masalahnya muncul ketika konstruksi yang bias ini mengeras. Ia tak lagi dilihat sebagai norma sosial, melainkan dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantahkan.
Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat menilai ide dan kompetensi, malah berubah jadi ajang mempertahankan stereotip. Perempuan sering dihakimi berdasarkan jenis kelaminnya, bukan dari pekerjaan atau pemikirannya. Di situasi seperti ini, saat gender diutamakan daripada kualitas, kesetaraan pun lenyap begitu saja dari percakapan.
Artikel Terkait
SMKN 1 Bandung Pacu Lulusan ke Pasar Global, Dukungan Nyata untuk SMK Go Global
Sahabat Tewas Dibacok Botol Pecah Usai Pesta Miras di Diskotek Surabaya
Kobaran Api Hanguskan Rumah di Jelambar, 95 Personel Dikerahkan
Tim Inspektorat Jenderal Kemenkum RI Turun ke Kalbar, Evaluasi Manajemen Risiko 2025 Dimulai