Manfaat Edutrip tentu ada. Siswa mendapat pemahaman langsung, melihat fasilitas canggih, merasakan perjalanan yang biasanya cuma mereka dengar di berita. Tapi ironinya jelas terlihat. Moda transportasi yang diharapkan jadi tulang punggung mobilitas kota, justru sibuk mencari penumpang dari sekolah-sekolah, bukan dari komunitas harian di stasiun.
Pertanyaannya sederhana, tapi tajam. Kalau Whoosh benar-benar diminati publik, apa iya perlu diskon sebesar 50 persen?
Diskon bukan tanda kegagalan mutlak. Tapi dalam banyak kasus, ia adalah sinyal. Sinyal bahwa pasar tak tumbuh secepat proyeksi. Bahwa angka penumpang di tahap awal mungkin lebih banyak digerakkan oleh harapan, bukan kenyataan. Proyek raksasa tak otomatis menciptakan antrean panjang di loket.
Saat ini Whoosh menjual edukasi. Besok, mungkin paket wisata. Lusa, bisa jadi konsep baru lagi yang dicari-cari. Kereta cepat ini tampaknya masih mencari peran dan identitasnya. Apakah ia benar-benar ikon kemajuan, atau sekadar karya ambisi besar yang kini butuh strategi potongan harga agar terlihat dibutuhkan.
Waktu yang akan menentukan akhirnya. Tapi satu hal sudah bisa dilihat sekarang. Kalau masa depan transportasi harus dijual dengan harga setengahnya, berarti kondisi saat ini belum cukup ramah untuk si Whoosh.
Artikel Terkait
Sumsel Bernapas Lega di Tengah Banjir Sumatera, Ini Kunci Menurut Gubernur
Koster Tegas Hentikan Lift Kaca di Nusa Penida: Ini Bukan Soal Menghambat Kemajuan
Tim SAR Palembang Bergegas ke Sumbar, Angka Korban Banjir-Longsor Sumatra Tembus 442 Jiwa
Janji Triliunan Relokasi China-Vietnam: Harapan Kosong di Tengah Gelombang PHK?