Semua ulama sepakat: kewajiban mengganti tetap berlaku saat situasi sudah membaik. Hukuman pidana saja yang digugurkan, bukan hak kepemilikan. Sebab, harga diri harta sama tingginya dengan harga diri darah ḥurmatul-amwāl ka ḥurmatid-dimā’.
Namun begitu, realitanya kerap lebih rumit.
Penjarahan di minimarket sering kali melampaui batas darurat. Bukan cuma makanan untuk bertahan hidup yang diambil, tapi barang-barang lain yang punya nilai jual. Bahkan ada yang sampai merusak toko. Di titik ini, tindakan itu sudah berubah. Dari ḥaqqud-ḍarūroh menjadi ḥirōbah perampasan dengan unsur kekerasan. Motifnya bukan lagi menyelamatkan diri, tapi memanfaatkan kekacauan.
Dan syariat jelas tak memberi ruang bagi kerakusan yang bersembunyi di balik alasan kelaparan.
Lantas, di mana letak solusinya?
Negara harus hadir sebelum rakyat terpaksa nekat. Memberi makan, menolong, memastikan tak ada yang kelaparan sampai ancaman jiwa benar-benar terjadi. Sebaliknya, bila yang terjadi adalah penjarahan massal yang melampaui batas syar'i, penegakan hukum harus ditegakkan. Bantu yang darurat, hukum yang memanfaatkan situasi.
Intinya, syariat tidak mentolerir kezaliman baik dari rakyat yang menjarah dengan dalih palsu, apalagi dari penguasa yang membiarkan rakyatnya sengsara.
(")
Artikel Terkait
TNI-Polri Gelar Patroli Masif di Yahukimo, Antisipasi Kerawanan Jelang Desember
Roy Suryo Tertawa Lepas Dengar Isu Koper Uang untuk Kasus Ijazah Jokowi
Prabowo Diterpa Hangat Warga Saat Tinjau Jembatan Putus di Aceh Utara
Nigeria Berduka: Pendeta dan Pengantin Jadi Korban Penculikan Brutal