Penguatan literasi digital menjadi langkah penting. Literasi sekarang bukan cuma soal baca buku. Tapi lebih pada kemampuan menilai kredibilitas informasi, mengenali motif di balik penyebarannya, dan memahami risiko ketika membagikan kabar yang belum jelas. Jika kebiasaan ini bisa ditanamkan, masyarakat tidak akan gampang terseret dalam pusaran disinformasi.
Di sisi lain, nilai budaya juga membantu membentuk sikap kritis. Kebiasaan untuk berdialog, menghargai perbedaan pendapat, dan mempertimbangkan sudut pandang lain bisa mencegah kita terkunci dalam ruang gema. Sikap terbuka semacam ini membantu meredam konflik yang kerap muncul akibat kesalahpahaman atau informasi yang sengaja dimanipulasi.
Tapi ya, perkembangan teknologi tetaplah tantangan yang nyata. Informasi menyebar lebih cepat daripada kemampuan kita memeriksanya. Siapa pun bisa membagikan kabar dalam hitungan detik, tanpa memedulikan dampaknya. Di sinilah etika komunikasi perlu ditegakkan. Supaya masyarakat tidak cuma cepat, tapi juga bertanggung jawab saat berkomunikasi.
Pendidikan bisa jadi titik awal perubahan. Mengintegrasikan nilai-nilai budaya yang etis dan pembelajaran literasi digital di sekolah dan kampus akan membantu generasi muda membangun daya tahan terhadap informasi menyesatkan. Dengan pembiasaan seperti ini, penggunaan teknologi bisa berjalan beriringan dengan nilai-nilai kebenaran.
Pada akhirnya, menghadapi era post-truth tidak cukup hanya mengandalkan kecakapan teknologi semata. Yang kita butuhkan adalah karakter masyarakat yang kritis, jujur, dan etis. Dengan memperkuat budaya literasi dan etika komunikasi, kita ikut merawat ruang digital agar tetap menjadi tempat yang sehat dan berdampak positif bagi semua.
Artikel Terkait
Prabowo Tinjau Langsung Dampak Siklon Senyar di Sumatera, Korban Jiwa Capai 442 Orang
Jembatan Nganjuk Ambruk Lagi, Dua Pengendara Tercebur ke Sungai
Jokowi Batal Penuhi Janji Tampilkan Ijazah di Sidang PN Solo
KPK Sita Senjata Api dalam Penggeledahan Kasus Bupati Ponorogo