Menyederhanakan NU
Oleh: Nadirsyah Hosen
Dinamika internal PBNU belakangan ini benar-benar memprihatinkan. Seolah membuka lembaran lama tentang betapa rapuhnya jam'iyyah ketika struktur kepemimpinannya melebar tanpa ada kejelasan garis komando. Semua pihak merasa punya legitimasi Rais 'Aam dipilih Muktamar, Ketua Umum juga dipilih Muktamar. Dua-duanya merasa memegang mandat langsung dari jama'ah. Di titik inilah roda organisasi mulai tersendat, bahkan berhenti berbulan-bulan.
Nah, dari sini muncul kebutuhan mendesak: menyederhanakan NU.
Menata Ulang Struktur Puncak
Sudah waktunya NU mempertimbangkan model yang lebih ringkas dan jelas. Pada Muktamar mendatang, posisi yang dipilih langsung mungkin cukup Rais 'Aam saja. Setelah itu, Rais 'Aam terpilih diberi mandat untuk menunjuk Ketua Umum, bukan melalui kontestasi terbuka.
Model ini bisa menyelesaikan dua persoalan sekaligus. Pertama, tidak ada lagi dualisme dua figur yang sama-sama merasa dipilih Muktamar. Kedua, konsolidasi Syuriyah dan Tanfidziyah menjadi lebih stabil karena Ketua Umum berangkat dari amanah Rais 'Aam, bukan menjadi "kutub" tandingan.
Harus diingat, NU berdiri di atas hikmah tatanan ulama; bukan pertempuran kuasa yang menggerus marwah jam'iyyah.
Kemandirian Ekonomi PBNU
Tapi sebenarnya, inti persoalannya jauh lebih dalam dari sekadar struktur. NU perlu mandiri secara ekonomi. Kemandirian ini bisa dimulai dari titik yang paling awal dan paling simbolis: Muktamar.
Artikel Terkait
MUI Usul Pajak Rumah Tinggal dan Sembako Dihapus, Ini Alasannya
Perjalanan 36 Tahun Guru Ida: Gaji Rp 750 Ribu dan Setia Menembus Macet Surabaya
Kisah Savina dan Seragam Sekolah yang Tertimbun Abu Semeru
Makan Bergizi Gratis: Antara Cita-Cita Besar dan Realitas di Lapangan