Suara Azan yang Tersendat dan Hilangnya Jejak Anak Muda di Masjid

- Selasa, 25 November 2025 | 06:06 WIB
Suara Azan yang Tersendat dan Hilangnya Jejak Anak Muda di Masjid

Ada satu kenangan yang selalu terngiang. Seorang bocah, hidupnya seolah tanpa beban. Dia dan kawan-kawannya menjelajahi setiap sudut: perumahan, pematang sawah, lorong-lorong sempit, bahkan rel kereta api. Tawa riang mereka mengisi udara, tak kenal waktu, sampai fajar pun datang menyapa.

Lalu, azan ashar berkumandang. Suara seorang muadzin muda, diiringi cahaya matahari yang mulai berwarna jingga, menandai akhir dari petualangan hari itu. Tapi sebenarnya belum benar-benar selesai. Pukul 15:30, mereka pun bergegas menuju langgar, tak jauh dari rumah. Episode itu tercipta, menjadi memoar indah yang melekat di benak masing-masing.

Beranjak ke tahun 2023, saat saya duduk di kelas XI SMA. Ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang seakan hilang ditelan waktu. Pulang sekolah, langkah saya diiringi lantunan selawat tarhim dari surau dan masjid-masjid di Kalisat.

Namun begitu sampai di rumah, tepat saat tarhim berakhir, suasana tiba-tiba hening. Bukan alam yang diam, tapi masjid dekat rumah saya itu tak kumandangkan azan. Saya dan warga sekitar saling bertanya. Ke mana muadzin yang biasa mengumandangkannya?

Waktu berlalu, azan tak juga terdengar. Baru setelah 15 menit, lantunan azan ashar akhirnya berkumandang. Suara seorang bapak-bapak, serak, dengan tempo yang cepat, seperti sedang mengejar ketertinggalan waktu.

Setelah diamati beberapa minggu, rupanya bapak itulah yang paling sering mengumandangkan azan di masjid. Tak cuma itu, beliau juga bertugas sebagai imam sholat fardhu. Dari situlah rasa iba itu muncul. Masjid itu, pasca pandemi Covid-19 melanda Indonesia, terasa sekali kekurangan peran anak muda.

Di zaman sekarang, problematika semacam ini perlu kita telaah. Ke mana sebenarnya anak-anak muda yang dulu riang bermain di masjid? Di sisi lain, diperlukan juga kesukarelaan dan konsistensi. Dampaknya kan tidak cuma untuk diri sendiri, tapi untuk masyarakat sekitar.

Padahal, kalau kita ingat-ingat lagi pelajaran SD dulu, kita diajari menjadi manusia Pancasila. Salah satu nilainya, ya nilai ketuhanan. Nilai yang bukan cuma mengajarkan toleransi, tapi juga bagaimana kita jadi umat yang beriman dan bertakwa.

Tapi tahu teorinya saja tidak cukup. Menurut sejumlah pengamat, kita bisa menganalisis apa yang membentuk kebiasaan anak muda di suatu daerah.

Sebuah penelitian dalam Jurnal Ilmiah Kajian Politik dan Lokal Pembangunan tahun 2025, yang berjudul "Perbedaan Gaya Komunikasi Antar Generasi", menyoroti hal ini. Gen Z yang lekat dengan gawai dan media sosial, berhadapan dengan generasi baby boomer yang lebih menghargai komunikasi tatap muka. Perbedaan ini bisa memunculkan tantangan, menciptakan lingkungan sosial yang kurang efektif karena kebiasaan mereka saling bertentangan.

Minat antara generasi muda dan generasi sebelumnya memang bisa dilihat dari sudut pandang ini. Kebiasaan komunikasi Gen Z di media sosial berpotensi membuat mereka enggan berinteraksi langsung dengan lingkungan, termasuk pergi ke masjid.

Interaksi yang terbatas inilah yang kemudian menghambat komunikasi. Cirinya? Rasa canggung, segan, dan malu ketika harus berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, bahkan dengan yang sebaya.

Maka wajar saja kalau kemudian takmir masjid, atau sekadar orang yang rajin memakmurkan masjid, didominasi generasi sebelumnya. Hal inilah yang akhirnya saya renungkan, dan menggerakkan hati saya untuk turut menjaga kemakmuran masjid, dengan sholat berjamaah dan sesekali mengumandangkan azan.


Halaman:

Komentar