"Kami hanya ingin anak-anak bisa sekolah tanpa harus mandi lumpur dulu,"
keluh seorang ibu sambil menangis saat bupati berkunjung. Dia juga bercerita soal listrik yang sangat terbatas satu meteran harus dipakai bergantian oleh 17 keluarga.
Kedatangan pejabat seolah cuma jadi pengingat betapa mereka sudah puluhan tahun hidup dalam keterbatasan.
Ketimpangan yang Semakin Nyata
Dusun Tegal AB bukan satu-satunya. Di pedalaman Indonesia, masih banyak warga yang hidup dengan akses jalan rusak, listrik minim, dan air bersih yang langka. Sementara di kota-kota besar, proyek infrastruktur digenjot dengan jargon "modern" dan "metropolitan".
Kontrasnya sungguh menyakitkan: negara membangun jalan layang megah di ibu kota, tapi membiarkan anak-anak berjuang melintasi lumpur hanya untuk sampai ke sekolah.
Lantas, sampai kapan generasi berikutnya harus hidup seperti ini sebelum pembangunan benar-benar merata?
Ini Bukan Soal Kemewahan, Tapi Kebutuhan Dasar
Jalan yang layak bukan fasilitas mewah. Itu adalah hak dasar. Penentu apakah seorang anak bisa bersekolah dengan aman, apakah petani bisa mengangkut hasil panen, atau apakah ibu hamil bisa segera mendapat pertolongan medis.
Ketika hal mendasar seperti ini tak bisa dipenuhi, pembangunan kita sesungguhnya cacat dari akarnya. Jeritan bocah dalam video itu seharusnya cukup menggugah kesadaran pemerintah: Indonesia bukan cuma Jakarta.
Warga di Tegal AB dan daerah pinggiran lainnya tak boleh terus menjadi catatan kaki yang terlupakan.
Artikel Terkait
Wali Kota dan Gubernur Turun Langsung, Intip Wajah Baru Ikon Palembang
Guru di Ujung Talaud: Gaji Susut, Komputer Pinjam, Semangat Tak Pernah Luntur
Pigai dan Pejabat Kamboja Bahas Nasib Pekerja Migran di Phnom Penh
Gencatan Gaza Retak, Korban Sipil Berjatuhan di Bawah Janji Damai