Rupiah Dipangkas Tiga Nol: Antara Efisiensi dan Ujian Kepercayaan Publik

- Senin, 24 November 2025 | 08:06 WIB
Rupiah Dipangkas Tiga Nol: Antara Efisiensi dan Ujian Kepercayaan Publik

Pagi-pagi, bayangkan Anda mampir ke warung kelontong. Di papan harga tertulis: Gula pasir Rp14,00 per kilo. Wah, murah banget, ya? Tapi tunggu dulu. Itu sebenarnya cuma versi ringkas dari harga Rp14.000 yang kita kenal selama ini. Angka-angka yang sudah puluhan tahun melekat di dompet dan ingatan kita tiba-tiba dipangkas. Jadi lebih singkat, tapi bikin mikir dua kali.

Inilah masa depan yang kemungkinan bakal kita jalani kalau redenominasi rupiah benar-benar diterapkan. Intinya sih, penyederhanaan nominal ini nggak cuma sekadar ngilangin tiga angka nol belaka. Lebih dari itu, ini semacam transformasi budaya ekonomi cara kita menilai barang, bertransaksi, bikin laporan keuangan, bahkan memandang stabilitas negara.

Tapi ya, seperti kebijakan besar lainnya, redenominasi nggak lepas dari tarik-ulur kepentingan. Ada peluang, tapi risiko juga nggak main-main. Antara keinginan untuk modernisasi dan kekhawatiran yang bercokol di benak publik.

Rupiah Baru, Persepsi Baru?

Sebenarnya, tujuan utama redenominasi itu sederhana: meningkatkan efisiensi. Coba lihat negara-negara maju dengan ekonomi stabil. Hampir semuanya punya mata uang dengan nominal yang pendek. Jepang mungkin punya yen dengan angka besar, tapi lihat saja negara Eropa, Australia, Korea Selatan, atau Malaysia struktur nominal mereka jauh lebih ringkas.

Sementara di Indonesia, transaksi sehari-hari sudah dipenuhi angka yang bengkak. Beli es teh manis? Rp5.000. Naik ojek? Rp12.000. Harga rumah? Miliaran. Angka nol seolah menguasai struk belanja, layar kasir, dan catatan akuntansi. Dari sisi teknis, bank dan lembaga keuangan harus memproses nominal yang nggak efisien banget.

Makanya, penyederhanaan ini diperlukan. Bukan buat mengurangi nilai uang, tapi lebih ke menata ulang sistem. Tapi di sisi lain, ini bukan cuma persoalan angka. Ini soal perubahan cara berpikir.

Ambil contoh Turki tahun 2005. Saat mereka menghapus enam angka nol, pemerintah gencar banget melakukan propaganda anti-inflasi. Setiap harga ditampilkan ganda: 6.000.000 lira lama jadi 6 lira baru. Mereka paham, yang ditakutin masyarakat bukan redenominasinya, tapi kemungkinan harga tiba-tiba melambung.

Nah, di Indonesia, ketakutan terbesarnya ya inflasi yang dipicu persepsi. Inflasi bisa muncul bukan karena nilai uang berubah, tapi karena salah persepsi misalnya pedagang yang memanfaatkan momen buat naikin harga.

Contoh gampangnya gini:

Harga telur yang semula Rp30.000 jadi Rp30,00. Tapi pedagang bisa aja pasang harga Rp32,00 dan bilang, "Ini harga baru format redenominasi, lho." Kalau pola kayak gini terjadi di mana-mana, risiko inflasi psikologis bakal susah dibendung. Makanya, edukasi publik itu penting banget. Redenominasi cuma bakal masuk akal kalau masyarakat benar-benar paham, bukan cuma ikut-ikutan.

Berbeda sama situasi Indonesia di awal 2010-an, ekosistem digital kita sekarang jauh lebih matang. QRIS udah jadi metode pembayaran nasional. Aplikasi e-wallet, perbankan digital, dan fintech berkembang pesat. Sistem otomatis memudahkan konversi nilai tanpa ribet.

Intinya: Kalau redenominasi diterapin di era 2005, kita harus ganti jutaan mesin kasir. Tapi kalau sekarang? Cukup update firmware dan software aja. Tapi tetap aja ada hambatan: kelompok masyarakat yang literasi digitalnya masih minim.

UMKM tradisional, pedagang pasar, lansia, dan masyarakat pedesaan harus dapat pendampingan ekstra. Kalau nggak, kesenjangan persepsi antara yang paham dan yang nggak bisa bikin risiko manipulasi harga makin besar.

Siapa yang Paling Diuntungkan?


Halaman:

Komentar