Langit di atas Sungai Code mulai menguning ketika Ustaz Rasid Mahzumi menutup kitabnya dengan perlahan. Di depannya, belasan mahasiswa berjejal dalam halaqah kecil itu. Ada yang sibuk mencatat, sementara lainnya hanya menatap langit sore yang berubah warna. Suasana hening sejenak sebelum Rangga Prakoso, mahasiswa hukum, mengangkat tangan.
"Ustaz," ujarnya, suaranya terdengar penuh keraguan. "Saya masih bingung nih soal dosa jariyah. Katanya dosa bisa mengalir terus. Tapi di Al-Qur'an jelas-jelas disebutkan bahwa setiap orang nggak akan menanggung dosa orang lain. Bukannya ini kontradiktif?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, menunggu diurai. Rasid, seperti biasa, siap memecahkan benang kusut pemahaman tentang istilah yang sebenarnya tak pernah ditemukan dalam hadis manapun—dosa jariyah.
Ketika Ayat dan Akal Berbicara
Dengan tenang, Rasid membuka mushaf kecilnya yang sudah usang—mungkin lebih tua dari sebagian besar mahasiswa yang hadir.
"Pertanyaannya tepat sekali," katanya, mengawali penjelasan. "Dan kamu nggak sendirian, banyak orang yang keliru memahami dua hal yang sebenarnya tidak bertentangan ini."
Dibacakannya pelan-pelan ayat yang menjadi fondasi prinsip keadilan dalam Islam: "Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain." Dari QS. Al-An'am: 164.
Ayat serupa muncul di beberapa surat lain, termasuk QS. Al-Israa: 15. Prinsipnya jelas: setiap manusia berdiri sendiri di hadapan Tuhannya, tanpa warisan dosa dari siapapun.
"Ini prinsip yang mutlak," tegas Rasid. "Dalam Islam, nggak ada konsep dosa warisan atau beban moral turun-temurun."
Rangga mengangguk, tapi matanya masih menyimpan tanda tanya. Yang belum ia pahami adalah bagaimana hadis-hadis Nabi Muhammad Saw tetap menyebut bahwa seseorang bisa mendapatkan dosa dari perbuatan orang lain.
Dari Hadis yang Sering Dikutip
Rasid kemudian membuka kitab Shahih Muslim terbitan Dar al-Hadits. Ia mengutip sebuah hadis yang cukup familiar di kalangan ahli fikih:
"Barang siapa mengajak kepada kesesatan, ia mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."
Tak berhenti di situ, ia melanjutkan dengan hadis lain dari Muslim: "Barangsiapa membuat contoh buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka."
Sekilas, hadis-hadis ini memang terlihat bertabrakan dengan ayat sebelumnya. Tapi para ulama sejak dulu sudah merinci duduk perkaranya.
Lalu, Apa Sebenarnya yang Mengalir?
Konsep dosa jariyah—istilah populer yang tak pernah diucapkan Nabi—sama sekali bukan berarti memindahkan dosa orang lain ke pundak seseorang. Islam tidak mengenal perpindahan dosa. Yang ada hanyalah tambahan dosa, sebagai konsekuensi logis dari seseorang menjadi sebab.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menulis dengan gamblang: "Maksud hadis 'menanggung dosa orang lain' adalah ia mendapat dosa karena menjadi sebab terjadinya maksiat, bukan karena memikul dosa mereka. Ini adalah bagian dari dosa yang ia lakukan sendiri."
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya terhadap QS. An-Nahl: 25, menegaskan hal serupa. Ayat itu menyebut: "Agar mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang-orang yang mereka sesatkan..."
Penafsir ulung abad ke-14 itu menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa mereka karena menyesatkan, bukan dosa yang dilakukan oleh para pengikut mereka.
Rasid menutup kitab tafsirnya, pandangannya tertuju pada Rangga. "Jadi, Rangga, mereka tidak memikul dosa pengikutnya," ujarnya tegas. "Mereka memikul dosa baru, yang muncul dari tindakan mereka sebagai penyebab. Itu beda."
Artikel Terkait
Aturan BPJS Non-Berjenjang Terganjal Kesiapan Kamar Pasien
Lima Jurus Ampuh agar Doa Tak Hanya Sampai di Langit
Tim Hukum Untag Semarang Desak Pengungkapan Fakta di Balik Misteri Kematian Dosen Muda
Jalan di Sriharjo Bantul Ambles, Warga Terpaksa Tempuh Jalur Memutar