Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat akhirnya menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry. Kasusnya berkaitan dengan dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara. Tak hanya itu, dia juga harus membayar denda Rp 500 juta. Kalau tidak? Ya diganti dengan kurungan tiga bulan.
Nah, menariknya, vonis ini ternyata jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, JPU meminta 8,5 tahun penjara untuk Ira.
Dua rekan sejawatnya di ASDP juga tak luput dari hukuman. Harry Muhammad Adhi Caksono, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan, serta Muhammad Yusuf Hadi, eks Direktur Komersial dan Pelayanan, masing-masing mendapat 4 tahun penjara.
Tapi di balik putusan itu, ada satu hal yang bikin penasaran. Salah seorang hakim justru berpendapat Ira seharusnya bebas dari segala tuntutan. Kok bisa?
Tak Ada Keuntungan, Kenapa Dihukum?
Hakim anggota Mardiantos punya pandangan menarik. Menurutnya, fakta persidangan membuktikan Ira sama sekali tidak menerima keuntungan pribadi dari proses akuisisi itu. Semua terungkap dari kesaksian, bukti, dan pendapat ahli yang diperiksa.
Karena itulah, majelis tidak membebani mereka dengan kewajiban membayar uang pengganti. Meski begitu, hukuman penjara tetap dijatuhkan.
Namun begitu, Ketua Majelis Hakim Sunoto punya pendapat yang benar-benar berbeda. Dia bersikeras bahwa Ira dan kawan-kawan seharusnya divonis lepas. Alasannya? Tindakan mereka itu murni keputusan bisnis yang dilindungi business judgement rule, bukan tindak pidana.
Tiga Titik Keraguan dalam Kasus Ini
Sunoto tak main-main. Dalam pertimbangannya, dia menyebut ada keragu-raguan substansial yang material dan fundamental dalam perkara ini. Setidaknya ada tiga poin yang dia soroti.
Pertama, soal niat jahat atau mens rea. Dia menekankan bahwa Ira dkk sama sekali tidak mengambil keuntungan pribadi, tidak ada benturan kepentingan, dan justru hasil bisnis ASDP menunjukkan perkembangan positif.
Kedua, masalah kerugian negara. Sunoto meragukan wewenang tim KPK dalam menghitung kerugian negara. BPKP sendiri menolak melakukan perhitungan, metodologinya dianggap cacat fundamental, sementara BPK justru menyimpulkan akuisisi sudah sesuai aturan. Perbedaan pendapat ahli pun sangat ekstrem.
Artikel Terkait
Setelah Cek Medis Dua Hari, Putin Klaim Sehat di Tengah Sorotan Kesehatannya
Kursi Perempuan di DPRD DIY Menyusut, Kuota 30 Persen Masih Jadi Mimpi
Roy Suryo Santai Ditahan Mencegah Keluar Negeri, Klaim Buku Black Paper Sudah Rampung
Sunyi di Gunung Peti, 88 Lubang Tambang Ilegal Akhirnya Ditimbun