Bagi Natsir, demokrasi tak cukup hanya mengandalkan suara terbanyak. Ia harus berjalan di bawah bimbingan nilai wahyu. Demokrasi yang sepenuhnya sekuler, menurutnya, akan melahirkan relativisme moral yang berbahaya bagi bangsa beragama seperti Indonesia. Gagasan Natsir ini sejalan dengan demokrasi Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fondasi moral.
Di Pakistan, pemikir besar Abul A'la Al-Maududi memperkenalkan konsep "theodemocracy" atau teodemokrasi. Baginya, pemerintahan Islam adalah perpaduan antara prinsip demokrasi—seperti musyawarah dan partisipasi rakyat—dengan prinsip ketuhanan berupa supremasi hukum Allah. "Kedaulatan mutlak hanyalah milik Allah," tegas Maududi. "Manusia diberi wewenang untuk mengatur urusan publik selama tidak melanggar batas-batas syariat."
Konsep teodemokrasi ini menjadi sintesis menarik: rakyat tetap berpartisipasi, tapi nilai ilahi menjadi kompasnya. Gagasan Maududi banyak menginspirasi pemikir Muslim, termasuk di Indonesia.
Jadi, demokrasi Indonesia tak boleh menjadi demokrasi liberal yang bebas nilai. Kita butuh demokrasi yang beretika, bermoral, dan berakar pada budaya serta keyakinan masyarakat. Konsep theistic democracy ala Natsir dan theodemocracy ala Maududi memberikan landasan filosofis yang kuat: demokrasi harus bertuhan, bukan bebas tanpa batas.
Secara historis, istilah "demokrasi" sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno: "dêmos" (rakyat) dan "kratos" (kekuasaan). Artinya kurang lebih "kekuasaan rakyat". Contoh paling awal biasanya merujuk ke Athena sekitar abad ke-5 SM, di mana warga pria—dalam lingkup terbatas—punya hak bertemu dalam majelis dan memilih wakil atau mendiskusikan kebijakan secara langsung.
Demokrasi modern berkembang pesat setelah Abad Pencerahan di abad ke-18. Gagasan tentang rakyat, kebebasan, dan kesetaraan mulai menjadi wacana umum. Revolusi seperti Revolusi Prancis tahun 1789 dan perkembangan negara-nasional di abad ke-19 dan 20 memperluas hak suara dan memperkuat institusi representatif.
Setelah Perang Dunia II, proses dekolonisasi dan gelombang demokratisasi—termasuk di Asia, Afrika, dan Amerika Latin—memperbanyak negara yang mengadopsi sistem demokrasi atau elemen-elemen demokrasi.
Pada akhirnya, kita harus mengarahkan demokrasi kita pada theistic democracy—demokrasi yang didasari nilai-nilai Ketuhanan. Nilai-nilai Islam sebagai mayoritas di bangsa ini harus menjadi panduan. Jangan sampai demokrasi terjerumus ke arah liberal yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Kenyataan pahitnya, kita sering menyaksikan demokrasi tanpa nilai dalam setiap pemilu. Pembagian uang ke konstituen di mana-mana, bagi-bagi sembako, pengerahan aparat untuk mendukung calon tertentu, plus praktik suap menyuap. Selama demokrasi tak dilandasi nilai, maka yang terpilih hanyalah pemimpin semu. Pemimpin palsu. Pemimpin yang kurang peduli rakyat, tapi lebih mementingkan keluarga dan partainya. Semoga ke depan ada perubahan. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik.
Artikel Terkait
Roblox Pasang Teknologi Deteksi Usia, Ini Respons Pemerintah
Gladak Perak Masih Tertutup Abu, Suasana Mencekam Menyergap
187 Pendaki Semeru Akhirnya Dievakuasi Setelah Terjebak Erupsi
Polemik Harimau Kurus Ragunan: Gubernur Buka Suara soal Video Viral