Prediksi Pembentukan "NATO Versi Pasifik": Analisis Strategis dalam Kerangka Indo-Pasifik 2025–2030
Anggota "Diskusi Reboan" yang difasilitasi Indonesian Democracy Monitoring (InDemo) Jakarta
Dalam konteks rivalitas geopolitik Amerika Serikat dan China yang semakin intensif, wacana pembentukan aliansi pertahanan multilateral mirip NATO di kawasan Pasifik—sering disebut sebagai "Indo-Pacific NATO" atau "Pacific NATO"—telah menjadi pokok bahasan strategis sejak awal dekade 2020-an. Konsep ini mengacu pada pakta pertahanan kolektif yang mengikat, menyerupai Pasal 5 NATO, yang melibatkan negara-negara demokrasi utama seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, India, Korea Selatan, serta potensi keterlibatan anggota ASEAN seperti Filipina dan Indonesia.
Berdasarkan tren terkini, termasuk kesepakatan semi-pakta pertahanan Indonesia–Australia yang baru disepakati pada November 2025 dan intensifikasi latihan militer multinasional, prediksi pembentukan aliansi semacam ini dalam waktu dekat (1–2 tahun) tampak memiliki probabilitas rendah.
Konteks Semi-Pakta Pertahanan Indonesia–Australia: Langkah Bilateral Menuju Integrasi Regional?
Pada 12 November 2025, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengumumkan penyelesaian substantif negosiasi Traktat Keamanan Bilateral baru, yang rencananya akan ditandatangani secara resmi pada Januari 2026. Pakta ini dibangun berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan 2024 dan Traktat Lombok 2006, dengan komitmen utama berupa konsultasi rutin di tingkat pemimpin dan menteri mengenai isu keamanan regional, akses timbal balik untuk latihan militer, dan potensi respons bersama terhadap ancaman eksternal seperti agresi maritim di Laut China Selatan.
Meskipun disebut "semi-pakta" karena tidak mencakup kewajiban pertahanan mutual eksplisit seperti Pasal 5 NATO, kesepakatan ini menandai kematangan hubungan pertahanan bilateral, dengan penambahan latihan militer terbesar sepanjang sejarah kedua negara di Surabaya pada November 2025.
Dari perspektif analisis strategis, pakta ini mencerminkan strategi "middle power networking" di mana Indonesia sebagai negara non-blok terbesar meningkatkan pengaruhnya tanpa bergabung dalam aliansi kaku, sementara Australia memperkuat "arc of alliances" di utara untuk mengimbangi pengaruh China.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa kesepakatan ini tidak mengkompromikan netralitas tradisional negara, dengan tetap menghindari tarik-menarik kepentingan AS–China.
Namun, analis memperingatkan bahwa elemen akses timbal balik bisa menjadi "building block" untuk integrasi yang lebih luas, mirip bagaimana pakta bilateral AS–Filipina berkembang menjadi latihan militer yang melibatkan mitra QUAD. Dalam kurun lima tahun, ini berpotensi menarik Indonesia ke orbit QUAD-plus, tetapi hanya jika China meningkatkan tekanan ekonomi, mendorong Jakarta melakukan hedging lebih ke Barat.
Intensitas Latihan Militer: Dari Bilateral ke Multilateral, tapi Belum ke Pakta Mengikat
Artikel Terkait
Gubernur Jabar Gagas Mahasiswa Teknik Sipil Jadi Konsultan Pengawas Proyek, Dapat Honor Rp 300 Ribu Per Hari
Mediasi Polisi Akhiri Konflik Warga Tanggamus yang Dipicu Bola Nakal
DPR Soroti Pembangunan Bendungan Era Lalu: Proyek Triliunan Tanpa Irigasi
Genangan di Rawa Buaya Bertahan 50 Cm, BPBD Pastikan Hampir Semua Banjir Jakarta Surut