Dalam drama ini, moralitas telah menjelma menjadi komoditas. Tuduhan, benar atau tidak, menjadi bahan bakar bagi moralitas instan. Media dan komentator bertindak layaknya pedagang di pasar moral, menawarkan "produk" mereka yang dianggap lebih murah dan lebih menusuk.
Tanpa menunggu keputusan resmi, sebagian publik telah bertindak sebagai hakim dadakan yang haus tontonan. Moralitas dijadikan perlombaan: siapa yang paling cepat menuding. Wacana publik bergeser dari memahami kompleksitas manusia menjadi pertarungan menentukan siapa yang paling tidak bermoral. Padahal, membangun moral bangsa tidak bisa dilakukan dengan memamerkan kecurigaan, melainkan melalui penanaman budaya kejujuran dalam sistem pendidikan, bukan sekadar menjadikan isu ini sebagai "teater penghakiman".
Kritik terhadap Hubungan Sosial: Polarisasi yang Semakin Mengkhawatirkan
Aspek yang paling terdampak dari kontroversi semacam ini adalah hubungan sosial antar manusia. Setiap kontroversi nasional dengan cepat berubah menjadi pertandingan gladiator di dunia online, dan isu ini tidak terkecuali.
Akibatnya, keluarga bisa terpecah bukan karena masalah ekonomi, tetapi karena perbedaan pandangan dalam menganalisis tanda tangan digital. Pertemanan retak bukan karena utang piutang, melainkan karena beda pendapat soal normal tidaknya tampilan kertas ijazah. Media sosial berubah menjadi arena debat dimana manusia melupakan bahwa subjek yang mereka perdebatkan juga adalah manusia. Jurnalisme humanistik mengingatkan kita bahwa hubungan sosial harus dijaga, bukan dijadikan korban dari debat tanpa ujung.
Penutup: Refleksi atas "Perseteruan Tentang Sepotong Kertas"
Jika pemberitaan dugaan ijazah ini diangkat menjadi sebuah naskah teater, sinopsisnya akan berbunyi: "Sebuah bangsa besar, dengan persoalan pendidikan yang kompleks, moralitas publik yang rapuh, dan polarisasi yang kronis, memilih untuk menjadikan selembar kertas sebagai pusat orbit seluruh emosinya."
Pelajaran humanistik yang dapat diambil sederhana namun mendalam: manusia lebih penting daripada kertas, dialog lebih bermakna daripada tudingan, dan empati lebih bernilai daripada sensasi.
Benz Jono Hartono adalah seorang Praktisi Media Massa yang aktif di berbagai organisasi jurnalis.
Artikel Terkait
Klaim Cinta Eksklusif Habib Bahar bin Smith Tuai Badai Kontroversi
Trump Gelar Jamuan Megah untuk Pangeran Saudi, Ronaldo hingga Elon Musk Hadir
M Bloc Space Berkibar Lagi: Era Baru Pusat Kreativitas Jakarta
BIN–Australia–Timor Leste Jalin Kolaborasi Intelijen, Pengamat: Sinyal Baru Geopolitik Indo-Pasifik