Krisis Pendidikan Indonesia 2025: Fakta, Masalah Guru, dan Solusi

- Jumat, 14 November 2025 | 04:50 WIB
Krisis Pendidikan Indonesia 2025: Fakta, Masalah Guru, dan Solusi

Seperti dikatakan Ki Hajar Dewantara, anak-anak tumbuh sesuai kodratnya, dan pendidik hanya berperan sebagai penuntun. Namun, kini rasa hormat siswa terhadap guru telah banyak berkurang. Di era digital, otoritas moral seringkali lebih dipegang oleh para influencer media sosial daripada guru di kelas. Teguran dianggap sebagai penghinaan, hukuman ringan berpotensi dilaporkan ke pihak berwajib. Orang tua murid kerap emosi, kepala sekolah merasa tertekan, dan guru terancam mutasi hanya karena berusaha menegakkan kedisiplinan. Otoritas pun menjadi rapuh di dalam kelas, mengubah hubungan belajar-mengajar menjadi sekadar transaksi formal, bukan lagi proses dialog yang membangun karakter.

Dunia politik dan birokrasi juga turut membebani para guru. Mereka yang tidak mengikuti acara partai penguasa bisa disingkirkan, sementara yang berani menyuarakan ketidakadilan dalam penyaluran dana BOS akan mendapat "peringatan". Di sejumlah daerah, tunjangan guru kerap ditahan bagi mereka yang dianggap tidak loyal. Kondisi ini membuat guru lebih fokus pada menjaga posisinya daripada mempertahankan integritas dan nurani dalam mendidik.

Berbagai program reformasi pendidikan yang dijanjikan pemerintah pusat seolah mandek di meja birokrasi. Sekolah tetap kekurangan dana, sementara belanja daerah masih sangat bergantung pada pusat. Ketika daerah dinilai gagal mengelola pendidikan, pusat pun turun tangan dengan proyek-proyek baru seperti digitalisasi sekolah, bantuan tablet, dan program literasi. Sayangnya, program-program ini seringkali hanya berhenti pada pencapaian kuantitas serapan, bukan peningkatan kualitas pembelajaran yang substantif.

Istilah "bonus demografi" kerap digaungkan, namun di banyak pelosok negeri, yang muncul justru beban generasi muda yang tidak terurus dengan baik. Anak-anak harus belajar dengan guru yang kelelahan, di dalam ruang kelas yang nyaris rubuh, dan menggunakan kurikulum yang lebih sering berganti daripada harapan untuk memperbaiki nasib mereka.

Pada akhirnya, krisis pendidikan Indonesia bukan hanya persoalan anggaran atau kebijakan, tetapi juga cerminan dari moralitas bangsa yang retak. Negara hadir dengan membanggakan proyek infrastruktur besar, tetapi absen di setiap jam pelajaran yang menentukan masa depan anak bangsa. Negara bangga memiliki kereta cepat, tetapi lupa memperbaiki jalan berlumpur yang setiap hari dilalui guru honorer untuk sampai ke sekolah. Kehadiran negara di dunia pendidikan seringkali hanya lewat proyek, bukan melalui jiwa dan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.


Halaman:

Komentar