INFO! Pakar Hukum Beberkan Strategi Efektif Jika Ingin Pemakzulan Gibran Berhasil

- Selasa, 10 Juni 2025 | 00:05 WIB
INFO! Pakar Hukum Beberkan Strategi Efektif Jika Ingin Pemakzulan Gibran Berhasil




MURIANETWORK.COM - Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden masih terus diusahakan Forum Purnawirawan TNI


Bahkan, Forum Purnawirawan TNI sudah mengirim surat resmi kepada DPR dan MPR pada 26 Mei 2025. 


Surat yang ditandatangani oleh empat purnawirawan jenderal TNI Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, dan Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, meminta agar proses pemakzulan Gibran segera dimulai.


Sejumlah fraksi di parlemen merespons surat tersebut dengan sikap terbuka. 


Tetapi fraksi di parlemen mengakui bahwa menjalankan proses pemakzulan bukanlah perkara mudah dan membutuhkan tahapan politik yang kompleks.


Terkait usulan pemakzulan ini, Pakar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden merupakan mekanisme konstitusional dalam sistem pemerintahan presidensial untuk memberhentikan kepala negara sebelum masa jabatannya berakhir. 


"Berdasarkan UUD 1945, pemakzulan dapat dilakukan jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat jabatan," terangnya, Minggu (8/6/2025).


Abdul menjelaskan, pemakzulan terhadap Gibran bisa saja terjadi, asalkan terdapat bukti kuat bahwa ia telah melakukan salah satu pelanggaran hukum tersebut.


Forum Purnawirawan TNI menyebut bahwa langkah pemakzulan memiliki dasar konstitusional yang kuat, merujuk pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945, TAP MPR Nomor XI Tahun 1998, serta sejumlah undang-undang terkait Mahkamah Konstitusi dan kekuasaan kehakiman.


Mereka menyoroti bahwa pencalonan Gibran sebagai wakil presiden berasal dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mereka anggap cacat hukum.


Selain aspek hukum, forum juga mempertanyakan kapasitas Gibran yang dinilai minim pengalaman karena baru dua tahun menjabat Wali Kota Solo, serta meragukan latar belakang pendidikannya. 


Surat itu turut menyinggung dugaan pelanggaran etika dan keterlibatan dalam praktik KKN bersama sang adik, Kaesang Pangarep, serta menyebut kontroversi akun media sosial bernama “fufufafa.”


"Dengan dasar tersebut, jawabannya tidak sederhana, karena proses pemakzulan diatur ketat dalam konstitusi dan memerlukan pembuktian hukum serta dukungan politik yang kuat," terang Abdul Hadjar.


Menurut Abdul Hadjar, permintaan pemakzulan Gibran yang diajukan para purnawirawan TNI lebih menekankan pada aspek politis-administratif, bukan pelanggaran hukum yang memerlukan putusan pengadilan tetap. 


Kata dia soal persyaratan usis, selama Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 belum dibatalkan secara resmi oleh undang-undang atau putusan MK baru, dasar hukum untuk pemakzulan masih lemah.


Abdul bilang, nasib aspirasi ini kini bergantung pada sikap para politisi di DPR.


Satu-satunya jalan terbuka adalah melalui revisi undang-undang soal batas usia capres-cawapres. 


"Namun, bila politik dipahami sebagai 'seni kemungkinan', maka tugas para politikus adalah mencari celah diantara ruang-ruang kemungkinan," ungkapnya.


Pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, turut menilai bahwa argumentasi hukum yang ada saat ini belum cukup kuat untuk memakzulkan Gibran.


"Masih dibutuhkan bukti yang lebih konkret untuk mendukung pemakzulan," ujar Cecep, Minggu.


Menurut Cecep, upaya pemakzulan juga memerlukan dorongan isu-isu yang lebih besar, terutama yang bisa membuktikan bahwa Gibran benar-benar melanggar hukum.


Ia menyebut dinamika politik di DPR akan sangat menentukan arah isu ini ke depan.


"Rapat pimpinan DPR bisa menjadi titik awal, lalu berkembang menjadi efek bola salju yang membuka kotak Pandora berisi fakta-fakta atau dinamika politik lain yang bisa memperkuat dorongan pemakzulan," ujarnya.


Namun, Cecep mengingatkan, pemakzulan bukanlah hal mudah.


Pengalaman pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menunjukkan bahwa hal itu hanya mungkin terjadi ketika terjadi krisis politik besar, konflik dengan DPR, dan ketegangan dengan TNI-Polri.


"Sementara dalam konteks Gibran, situasinya tidak demikian. Tantangannya sangat besar karena pemakzulan memerlukan dukungan politik solid di DPR dan MPR, yang saat ini mayoritas justru berada di pihak pendukung Prabowo-Gibran," tandasnya.


Senada dengan Cecep, pengamat politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menyebut bahwa lobi politik ke partai-partai menjadi kunci utama.


"Forum Purnawirawan TNI tidak cukup hanya mengirim surat ke DPR. Harus ada lobi ke partai-partai, padahal mayoritas partai saat ini adalah pendukung pemerintah," ucap Aditya.


Menurutnya, jika pemakzulan hanya dijalankan secara normatif tanpa strategi politik, maka peluangnya akan sangat kecil.


"Untuk mencapai tujuan pemakzulan, Forum harus merangkul lebih banyak kelompok, memperbesar isu, dan mencari dukungan publik secara luas," tambahnya.


"Pertanyaannya, sudah sejauh mana itu dilakukan? Kalau belum, maka sangat berat bila hanya mengandalkan mekanisme di DPR, apalagi dalam situasi politik yang tidak mudah," ungkap Aditya.


Panggil Forum Purnawirawan


Sementara itu, pakar hukum tata negara, Feri Amsari, meminta DPR RI segera memanggil Forum Purnawirawan TNI yang menyampaikan surat usulan pemakzulan terhadap Gibran.


Menurut Feri, pemanggilan terhadap Forum Purnawirawan TNI diperlukan guna mendengarkan alasan di balik usulan tersebut.


"DPR harus bijak hati dengan memanggil Forum Purnawirawan untuk didengarkan pendapatnya kenapa mereka mengusulkan pemakzulan Gibran tersebut," kata Feri, Senin (9/6/2025).


Menurut Feri, surat usulan pemakzulan terhadap Gibran yang dikirimkan kepada DPR dan MPR merupakan tindakan konstitusional.


"Ya tentu saja surat tersebut adalah upaya yang tepat ya. Secara konstitusi memang harus ditujukan kepada DPR dan MPR," ucapnya. 


"Karena dua lembaga ini adalah lembaga awal dan akhir dalam proses pemakzulan," imbuh Feri.


Feri menjelaskan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, DPR memiliki kewenangan untuk mengusulkan pemakzulan presiden atau wakil presiden apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala atau wakil kepala negara. 


Usulan itu, menurutnya, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 25 anggota DPR dan dibawa ke rapat paripurna sebelum dapat ditindaklanjuti ke Mahkamah Konstitusi.


"Tapi tentu saja sebagai langkah awal ini sangat baik," ujarnya.


Namun demikian, Feri mengingatkan pentingnya membangun basis argumentasi yang kuat dalam setiap usulan pemakzulan.


"Saya bahkan mengusulkan perlu dibuat catatan yah, apa saja yang menjadi dasar untuk mengusulkan pemakzulan wakil presiden dan karena apa," tegasnya.


Dia menambahkan, langkah tersebut tidak hanya memperkuat argumentasi hukum, tetapi juga bisa menjadi acuan politik bagi anggota DPR yang mempertimbangkan untuk membawa usulan itu ke forum paripurna.


"Karena itu mungkin akan membantu secara politik anggota DPR untuk mengusulkan juga ke forum Paripurna DPR," imbuh Feri.


Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung menyoroti pertemuan Presiden Pabowo Subianto dan Kertua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.


Menurutnya, itu sinyal PDIP untuk mendekat ke koalisi dan persiapan pemakzulan Gibran.


Hal ini dia sampaikan dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu (7/6/2025).


"Ya, kita harus cari kata kunci untuk membuka misteri dari isu-isu politik hari-hari ini. Terutama soal pertemuan Ibu Mega dengan Pak Prabowo di acara peringatan Hari Pancasila. Lalu disusul urgensi bertemunya Gerindra dengan PDIP itu," kata Rocky.


"Kalau kita lihat urgensinya setelah pertemuan dengan Ibu Mega 2 Juni itu lalu disusul pertemuan antara tim Presiden Prabowo dan Ibu Mega. Kita bisa sinopsiskan bahwa rentetan peristiwa itu ada tujuannya. Satu tindakan purposif," tambahnya.


"Apakah itu tujuannya untuk membujuk Ibu Mega untuk masuk kabinet, atau untuk mempersiapkan satu keadaan dinamika baru menghadapi tuntutan kalangan purnawirawan yang menginginkan pemakzulan Gibran," jelasnya.


Rocky Gerung pun memaparkan, tuntutan Forum Purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran merepresentasikan pemikiran masyarakat.


"Kendati itu hanya purnawirawan, tetapi para purnawirawan ini mewakili back mind, alam pikiran dari masyarakat terutama masyarakat sipil untuk memakzulkan Gibran," ujar Rocky.


Selanjutnya, mantan Dosen Filsafat di Universitas Indonesia (UI) ini menerangkan, Prabowo ingin mendapat legitimasi.


Sebab, PDIP selaku partai yang diketuai Megawati belum memberikan sinyal untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra.


"Konsentrasi pertama adalah keinginan Prabowo untuk memperoleh legitimasi. Setelah sudah lebih dari 100 hari, PDIP masih belum memberi semacam sinyal untuk bergabung dengan Gerindra," katanya.


Namun, Rocky Gerung juga menilai, setelah pertemuan Prabowo dengan Mega, ada pertimbangan, mana yang lebih mendesak; reshuffle kabinet tetapi menunggu sinyal PDIP, atau pemakzulan Gibran.


"Yang kedua adalah mana yang lebih urgent, soal reshuffle kabinet yang menunggu semacam sinyal dari PDIP atau soal pemakzulan Gibran yang sudah betul-betul menjadi bara di dalam pembicaraan politik Indonesia," paparnya.


Rangkaian pertemuan Mega dan Prabowo yang berlanjut pada saling titip pesan ini, menurut Rocky, mengarah ke penantian kepastian PDIP bergabung dengan pemerintah atau mencopot Gibran dari kursi wakil presiden RI.


"Jadi, kita mencoba lihat sebetulnya atau apa yang bisa kita pastikan dari sekuensis peristiwa-peristiwa yang mengarah pada dua hal tadi ya," jelas Rocky.


"Pertama adalah kepastian apakah PDIP akan bergabung dengan Gerindra. Yang kedua adalah kemungkinan secara sosiologis atau bahkan secara konstitusional untuk memakzulkan Gibran," tandasnya.


Sumber: Tribun

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini