Menguji Komitmen Prabowo Pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon?

- Senin, 05 Mei 2025 | 12:55 WIB
Menguji Komitmen Prabowo Pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon?


"Republik di sini nih gampang Pak, di Senayan ini. Lobby-nya jangan di sini Pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing,” ujarnya. 


Maksudnya jelas: restu dari ketua umum partai lebih menentukan ketimbang argumentasi hukum atau kepentingan publik.


Artinya, pembahasan RUU ini bisa saja melesat cepat asal para ketua umum partai setuju. Inilah alasan kuat kenapa Prabowo perlu turun tangan langsung.


RUU Perampasan Aset sendiri bukan isu baru. Wacana ini sudah muncul sejak 2003, dimotori oleh PPATK. 


Naskah awalnya disusun pada 2008, di era Presiden SBY. Yenti Garnasih pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, terlibat dalam penyusunannya.


Proses penyusunan bahkan sempat memicu perdebatan. Soalnya, muncul perbedaan pandangan: apakah judulnya sebaiknya “perampasan aset” atau “pemulihan aset”.


Namun, begitu masuk ke DPR, pembahasannya menguap. Menurut Yenti, pada 2009-2010 yang bertepatan dengan tahun politik RUU itu praktis tak lagi dibahas.


“Langsung tidak konsen lagi. Pikiran mereka hanya pemilu saat itu,” ujarnya.


Selama dua dekade pemantauan, Yenti menyimpulkan: hambatan utama ada di parlemen. 


Banyak anggota DPR yang enggan membahas RUU ini karena merasa terancam.


Karenanya, ia menilai penting bagi Prabowo untuk mendorong partai koalisi agar segera mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang. 


Tanpa dorongan itu, pembahasan bisa kembali menghilang di tengah kepentingan politik jangka pendek.


Mengapa UU Perampasan Aset Penting?


RUU Perampasan Aset bisa jadi terobosan krusial dalam pemberantasan korupsi. 


Bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi juga mengembalikan kerugian negara secara konkret.


Yenti Garnasih, pakar tindak pidana pencucian uang, menegaskan urgensinya. 


Menurutnya, aturan ini memungkinkan aparat seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri menyita aset pelaku korupsi—meskipun pelaku telah melarikan diri atau meninggal dunia.


Dasarnya? Prinsip non-conviction based confiscation. Artinya, negara bisa menggugat langsung aset hasil kejahatan, tanpa perlu menunggu vonis pengadilan terhadap orangnya.


“Gugatannya ke barangnya, bukan ke pelakunya,” kata Yenti.


Lebih jauh, aparat bisa merampas harta penyelenggara negara yang tak wajar. 


Jika seorang pejabat punya kekayaan yang tak sebanding dengan penghasilan dan tak bisa membuktikan asal-usulnya, maka aset tersebut dapat disita untuk negara.


Efeknya sangat besar. Mengutip Hukumonline.com, RUU ini bisa memangkas waktu dan biaya penanganan perkara. 


Selama ini, proses penyitaan aset lewat jalur pidana penuh hambatan dan memakan waktu lama.


Selain itu, mekanisme substitusi aset juga diatur. Jika aset hasil kejahatan berada di luar negeri dan sulit dijangkau, maka bisa digantikan dengan aset lain yang nilainya setara.


Namun, kata Yenti, penyusunan aturan harus jelas. Termasuk ke mana aliran aset yang telah dirampas akan disalurkan. Jangan sampai sekadar kembali ke kas negara tanpa kejelasan peruntukan.


Ia mencontohkan kasus korupsi proyek BTS Kominfo. Nilai proyeknya Rp10 triliun, namun Rp8 triliun dikorupsi. 


Idealnya, kata Yenti, aset yang disita dari para terpidana harus dikembalikan ke Kominfo agar proyek bisa dilanjutkan.


“Jangan sampai proyek mangkrak karena anggarannya dikorupsi. Negara tetap punya tanggung jawab untuk melayani kebutuhan publik,” ujarnya.


RUU ini bukan cuma soal hukum. Ini soal keadilan. Soal sejauh mana negara, lewat aparat hukumnya, sungguh-sungguh memulihkan kerugian rakyat akibat korupsi.


“Kelihatan nanti, penegak hukum ini beneran bagus enggak? Optimal enggak dalam memulihkan uang negara yang dicuri?” tutup Yenti.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar