Malam di TPU Jatisari dan Misteri Kematian Dosen yang Selalu Bilang Hukum Pidana Itu Asyik

- Selasa, 02 Desember 2025 | 07:30 WIB
Malam di TPU Jatisari dan Misteri Kematian Dosen yang Selalu Bilang Hukum Pidana Itu Asyik

Nama Dwinanda Linchia Levi mungkin tak terlalu dikenal publik. Tapi coba tanyakan pada mahasiswanya, atau rekan-rekan dosen di kampus. Mereka akan menggambarkan sosok yang hangat, cerdas, dan penuh hormat. Seorang dosen muda di sebuah universitas swasta di Semarang dengan segudang prestasi. Di usianya yang baru 35 tahun, masa depannya terang calon Guru Besar Fakultas Hukum yang potensial. Di kelas, ada satu kalimat yang selalu dia ucapkan dan diingat betul oleh para murid: "Hukum pidana itu asyik."

Namun begitu, semua potensi itu kini berakhir di TPU Jatisari, Semarang, pada suatu Selasa malam, 18 November 2025. Liang lahatnya dikelilingi pelayat yang berjejal. Pemandangan yang tak biasa untuk pemakaman malam hari, sampai-sampai membuat penjaga kuburan itu sendiri terkesima. Rombongan mahasiswa dan kolega hadir untuk melepas Dwinanda, atau Levi, yang sehari sebelumnya ditemukan tewas di sebuah guest house di kota itu.

Raymond Fernando, mahasiswa FH Untag semester 5, ada di antara kerumunan itu. Baginya, keramaian di tengah malam itu bicara banyak. "Beliau itu orang baik. Almarhumah enggak punya keluarga di sini. Tapi lihat saja, pemakaman malam, area kuburan penuh. Itu buktinya," katanya, mengenang suasana hari Rabu, 26 November.

Levi ditemukan meninggal di kamar 210 Mimpi Inn, tempat yang biasa dia tinggali di Jalan Telaga Bodas Raya. Tubuhnya tanpa busana. Polisi menyatakan tak ada tanda kekerasan. Hasil autopsi di RSUP Kariadi menyebutkan penyebabnya adalah pecah jantung akibat aktivitas berlebihan.

Fakta lain yang terungkap: sepanjang malam sebelum kematiannya, Levi berada di kamar itu bersama AKBP Basuki, seorang perwira polisi. Penyidikan mengungkap hubungan mereka di luar nikah telah berlangsung sejak 2020. Kini Basuki dicopot dari jabatannya dan ditahan terkait dugaan pelanggaran kode etik berat.

Kabarnya, banyak mahasiswa yang syok. Pesan tentang penemuan jasad dosen favorit mereka menyebar cepat di grup-grup percakapan. Raymond dan beberapa temannya bahkan menyempatkan diri ke RSUP Kariadi keesokan harinya, Selasa pagi, untuk melihat Levi untuk terakhir kali. "Kami diberi kesempatan melihat sebelum wajahnya ditutup kain putih," ujarnya.

Kelas yang 'Asyik' dan Kantin yang Ramah

Raymond pertama kali bertemu Levi di semester 2, dalam mata kuliah Hukum Pidana. Langsung terasa, gaya mengajarnya berbeda. Jauh dari kesan killer atau menakutkan. Levi membangun diskusi, memancing mahasiswa berpikir. Kelas yang biasanya dianggap berat jadi terasa hidup di tangannya.

Kalimat "Hukum pidana itu asyik" bukan sekadar ucapan. Levi bisa menunjukkan sisi menarik dari ilmu yang sering diidentikkan dengan urusan orang bermasalah itu. "Asyiknya di situ bagaimana kita mengolah kasus, menganalisis, bahwa orang yang bermasalah belum tentu bersalah," jelas Raymond. Banyak mahasiswa justru menemukan minat dan akhirnya memilih penjurusan pidana berkat pengaruhnya.

Keakraban itu terbawa sampai ke luar kelas. Empat atau lima hari sebelum kejadian, Levi masih sempat nongkrong di kantin fakultas, jajan dan ngobrol ringan dengan mahasiswa. Dia suka mampir ke sana. Saat kongko, dia sering membuka diskusi kecil sambil berbagi makanan. Kedekatan seperti inilah yang kemudian mendorong mahasiswa menuntut keadilan.

Mereka bahkan mendatangi Polda Jawa Tengah, membawa poster bertuliskan "Justice for Levi". Antonius Fransiscus Polu, perwakilan mereka, menyuarakan kejanggalan. "Kami dengar Bu Levi ada riwayat penyakit, tapi di TKP posisi korban bugil. Lalu hubungan dengan saksi kuncinya yang seorang polisi, kita belum tahu jelas," katanya.


Halaman:

Komentar