“Waktu itu kan liputan di Timor Timur ya. Dia pakai jas dong pas liputan. Di belakang dar der dor, terus dia pakai jas liputannya,” cerita Ira, disambut tawa audiens.
Lucunya, aksi ‘perang pakai jas’ itu malah berujung protes. Pemirsa zaman itu yang belum kenal media sosial membanjiri kantor berita dengan telepon, email, bahkan faks. Alhasil, sepulang dari tugas, Jeremy dapat ‘oleh-oleh’ spesial: Surat Peringatan.
“Dia pulang ke kantor dikasih SP. Ya masa liputan perang, pakai jas,” lanjut Ira sambil tertawa.
“Dia ini memang dari dulu out of the box.”
Ruben Onsu yang jadi host pun penasaran. “Dikasih SP karena baju?” tanyanya memastikan.
“Iya, karena pada dasarnya diprotes sama pemirsa kan,” jelas Ira. “Zaman dulu kan nggak ada media sosial. Tapi telepon berdering-dering sama email dan fax pada zaman itu.”
Cerita itu mungkin terkesan sepele. Tapi justru di situlah karakternya kelihatan. Di satu sisi, Jeremy adalah jurnalis dedikatif yang berani terjun ke zona berbahaya. Di sisi lain, dia punya gaya eksentrik yang nggak bisa dilupakan bahkan oleh atasannya sendiri.
Meski sempat ditegur lewat SP, nama Jeremy Teti tetap meninggalkan jejak yang dalam. Dia dikenang bukan cuma sebagai pembaca berita, tapi sebagai sosok dengan karakter kuat yang membawa warna tersendiri di layar televisi Indonesia. Gaya itu, mau diapakai jas di medan perang sekalipun, ternyata jadi bagian dari sejarah yang justru membuatnya dikenang.
Artikel Terkait
Franka Makarim Ungkap Refleksi Keluarga di Tengah Badai Kasus Suami
Lesti Kejora Tetap Syuting dan Turun ke Medan di Usia Kandungan Tujuh Bulan
Vonisme Makin Berat, Nikita Mirzani Dihukum 6 Tahun Penjara
Damar Rizal Tegas: Jangan Ganggu Mama Saya untuk Rating