Konsep addiction relapse dari riset Leach & Zimmerman (2013) dapat diterapkan dalam konteks hubungan. Kambuhnya keinginan untuk kembali sering dipicu oleh stres emosional dan rasa kesepian. Saat merasa rapuh, kita cenderung mencari pelarian ke hal yang paling dikenal, sekalipun hal itu menyakitkan.
Mantan menjadi semacam “pelipur lara” sesaat yang memberikan kenyamanan instan, meski kita sadar bahwa sumber luka masih ada di sana. Kembali ke mantan tidak selalu menandakan cinta yang masih membara, tetapi bisa jadi merupakan pertanda bahwa kita belum sepenuhnya menerima rasa kehilangan dan takut menghadapi kesendirian.
Ilusi “Cinta Kedua” yang Rapuh dalam Realita
Media dan budaya pop seringkali meromantisasi gagasan “cinta sejati akan kembali”. Banyak film, lagu, dan cerita yang mengajarkan, “jika dia jodoh, dia akan kembali.” Namun, realitanya tidak selalu seindah itu.
Laporan dari Time Magazine (2018) menyatakan bahwa hubungan on-off justru cenderung melelahkan secara emosional karena pola komunikasi dan konflik lama biasanya akan terulang kembali dalam waktu singkat. Cinta saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku dan pemahaman yang baru. Hubungan yang dulu rusak karena masalah tertentu berpotensi besar mengalami kerusakan yang sama—kali ini dengan beban kekecewaan yang lebih dalam.
Kesimpulan: Belajar Melepaskan dan Menemukan Kedamaian
Relapse relationship adalah bagian dari proses pencarian diri. Fase ini muncul ketika kita masih bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku cukup? Apakah aku masih layak dicintai?”
Namun, pelajaran terpenting adalah memahami bahwa cinta yang sehat tidak boleh membuat kita kehilangan jati diri. Jika kembali ke mantan justru membuat kita lebih cemas dan takut daripada bahagia, itu adalah tanda bahwa yang kita alami bukanlah cinta, melainkan keterikatan emosional yang belum selesai.
Melepaskan bukanlah tentang kehilangan seseorang, melainkan tentang merelakan versi diri kita yang dulu hidup bersamanya. Ketika kita mampu memandang hubungan yang telah berlalu bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai pengalaman yang memberi pelajaran, di situlah kita menemukan kebebasan yang sesungguhnya. Relapse bukanlah akhir, melainkan cermin untuk memilih: terus mengulang pola yang sama atau memutuskan untuk menulis babak baru hidup dengan lebih sadar dan mandiri.
Artikel Terkait
Hevi Ayu Divonis Kanker Payudara Stadium 3A di Usia 29, Ini yang Paling Menyiksanya
Anak Gritte Agatha Kritis di IGD: Ternyata Ini Pemicu Kejang yang Sering Diabaikan!
Rahasia Tiket Pesawat Murah 2025: 3 Waktu Ini Bisa Hemat Jutaan Rupiah!
Miru Lensa Kontak Terbaru: Inovasi Flat Pack & Kolaborasi PAPION di JFW 2026