Suara perempuan seringkali tak pernah benar-benar sampai. Bukan isinya yang bermasalah, tapi perasaannya selalu lebih dulu dihakimi. Coba lihat: saat dia bicara dengan nada bergetar, langsung dibilang lebay. Saat dia memilih diam, malah dicurigai tidak rasional. Terjebak di antara dua tuntutan itu, ruang untuk sekadar dimengerti pun sirna. Yang tersisa hanyalah penilaian.
Ini cerita lama sebenarnya. Warisan budaya yang terus dipelihara, diperkuat oleh kata-kata yang kita ucapkan sehari-hari. Perasaan perempuan kerap dianggap sebagai gangguan, sesuatu yang mengotori nalar jernih. Seolah-olah emosi itu cacat, bukan cara lain untuk memahami dunia.
Kita semua pasti pernah mendengar, atau malah mengucapkan, kalimat-kalimat seperti "jangan baperan" atau "logis dong, ah". Nah, coba ingat-ingat, hampir selalu kalimat itu ditujukan ke siapa? Fakta menariknya, perasaan dan logika itu bukanlah musuh. Mereka lebih seperti dua lensa berbeda untuk membaca realitas yang sama. Yang satu memberi kita ketajaman, satunya lagi memberi kepekaan.
Di sisi lain, sejarah patriarki yang panjang telah menciptakan standar berpikir yang kaku. Rasionalitas kering diagungkan, sementara emosi disingkirkan ke pinggir dan dicap sebagai kelemahan. Dalam skema ini, laki-laki dapat label 'rasional', perempuan dapat stempel 'perasa'. Hasilnya? Sebuah dikotomi yang tidak adil dan, jujur saja, sangat menyesatkan.
Lihat saja betapa banyak keputusan besar dari level pemerintah sampai perusahaan yang akhirnya gagal total. Penyebabnya? Seringkali karena mengabaikan unsur manusiawi, karena empati tidak dihitung. Kebijakan jadi dingin, manusia direduksi jadi sekadar angka. Padahal, nilai-nilai seperti kepedulian dan kepekaan, yang kerap dilekatkan pada perempuan, justru paling dibutuhkan di tengah dunia yang kian terpecah belah ini.
Dalam hubungan personal pun pola ini berulang. Ketika seorang perempuan mencintai dengan sungguh-sungguh, dia dianggap menuntut. Saat dia mengungkapkan kekecewaan, langsung dituduh suka drama. Padahal, masalahnya seringkali bukan pada perasaannya yang "berlebihan", tapi pada komunikasi yang timpang. Perempuan dipaksa menari mengikuti irama ekspresi yang bukan miliknya.
Media, mau tak mau, ikut bermain dalam melanggengkan narasi ini. Coba bandingkan: perempuan yang emosional jadi bahan berita sensasional, sementara kemarahan laki-laki dibungkus dengan kata "ketegasan". Tangisan dianggap lemah, amarah disebut wibawa. Bahasa media jelas tidak netral; ia membentuk persepsi kita tentang siapa yang pantas didengar dan siapa yang tidak.
Artikel Terkait
Rachel Vennya Ungkap Sisi Lain Bipolar: Berkah yang Penuh Tantangan
Mimpi Membaca Buku: Isyarat Bawah Sadar atau Alarm untuk Belajar?
Kak, Gimana Ini?: Kerinduan Tersembunyi Anak Perempuan Pertama
Waspada, 5 Zodiak Ini Diprediksi Hadapi Tahun Sulit di 2026