Melalui teknik pemetaan udara, seluruh area tambang dapat terekam secara komprehensif tanpa ada bagian yang terlewat. Pendekatan ini meminimalisir kemungkinan perbedaan data dan mengurangi potensi perdebatan dalam klaim volume.
“Perbedaan data sering memicu perdebatan saat proses rekonsiliasi. Dengan menggunakan drone, data yang dihasilkan menjadi lebih adil, transparan, dan objektif,” tambah Roy.
Roy menekankan bahwa kehadiran teknologi drone tidak akan menggantikan peran tim survei, melainkan justru meningkatkan kompetensi dan kemampuan mereka.
Sejak tahun 2016, tim survei internal perusahaan yang sebelumnya berfokus pada pengukuran lapangan telah dilatih untuk mengembangkan keahlian baru sebagai operator drone dan pengolah data udara. Perusahaan juga memberikan dukungan penuh bagi mereka untuk memperoleh sertifikasi kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
“Kami membuktikan bahwa teknologi tidak menggantikan manusia, tetapi meng-upgrade kemampuan mereka. Kontraktor nantinya juga akan melalui proses pembinaan dan sertifikasi yang serupa,” ungkap Roy.
Saat ini, kontraktor MMS sedang mempersiapkan diri untuk transisi ini. Dalam pembaruan kontrak yang akan berlaku mulai Juli 2026, penggunaan teknologi drone akan menjadi klausul wajib yang harus dipenuhi.
“Ini bukan sekadar inovasi, tetapi merupakan tuntutan standar keselamatan dan regulasi nasional. Oleh karena itu, implementasi drone akan kami cantumkan secara formal dalam perjanjian kontrak,” pungkas Roy.
Artikel Terkait
WIKA Rugi Triliunan Akibat Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Ini Penjelasan dan Klaimnya
Rahasia Produktivitas Sido Muncul: Fokus pada Kebahagiaan Karyawan
Capex Rp 8,02 Triliun & Laba Bersih BRPT Melonjak 2.882% di 2025
IHSG Naik ke 8.388: Sektor Infrastruktur & Transportasi Jadi Penggerak Utama