Misteri eFeeder eFishery: Alat Canggih yang Mati Mengonggok & Nasib Petambak yang Terlupakan

- Senin, 27 Oktober 2025 | 19:54 WIB
Misteri eFeeder eFishery: Alat Canggih yang Mati Mengonggok & Nasib Petambak yang Terlupakan

“Visi Pak Menteri adalah percaya pada teknologi untuk mempercepat produktivitas,” kata Doni.

Menurut Fernando J. Simanjuntak, Direktur Ikan Air Payau KKP, alat ini membuat pemberian pakan tepat waktu, tepat jumlah, dan terintegrasi. Produktivitas meningkat dari 60 ton per hektare secara konvensional menjadi 80 ton dengan eFeeder.

KKP sempat berniat memperpanjang kerja sama 2025, namun tak direspon eFishery. Akhirnya, alat diambil kembali.

Dampak ke Pembudidaya Kecil

Bagi pembudidaya seperti Mario, manfaat eFeeder terbatas pada konsistensi jadwal dan takaran pakan. Namun, alat ini belum berdampak signifikan pada feed conversion ratio (FCR) atau hasil panen.

“Dari jumlah pakan yang diberikan menjadi hasil panen, belum ada perbaikan,” ujar Mario.

Selain sewa alat, Mario juga ikut program penjualan ikan eFishery sejak 2023. Awalnya, 95% produksinya diserap eFishery. Namun, pada Mei 2024, kebijakan berubah drastis—harga beli turun dari Rp 29.000 menjadi Rp 23.000 per kg.

Menurut Mario, harga baru itu tidak sesuai harga pokok produksi di wilayahnya, karena diambil dari survei harga di Waduk Cirata atau Jatiluhur yang belum termasuk biaya angkut.

Pembudidaya lain, Adi di Ciseeng, Bogor, membeli satu unit eFeeder secara putus. Ia mengaku alat itu tidak bermanfaat bagi petani dengan satu kolam. Cara tradisional dinilai lebih cocok.

Pelajaran dari Kegagalan eFishery

Dina Dellyana, Dosen dan Kepala Inkubator Bisnis SBMITB Bandung, menilai kasus eFishery jadi momentum koreksi bagi ekosistem startup.

“Ini pembelajaran bagi startup lokal dan investor. Investor tidak bisa lagi pakai cara lama dalam menilai startup,” katanya.

Dina menekankan pentingnya governance yang kuat dan auditing yang ketat.

Doni dari KKP menyebut potensi startup di sektor perikanan masih besar. Proyek revitalisasi tambak pantura seluas 75.000 hektare dengan anggaran Rp 26,3 triliun jadi peluang kolaborasi.

“Startup harus melihat masalah dulu, baru menjadi problem solver dengan teknologinya. Itu dasarnya startup,” pungkas Doni.


Halaman:

Komentar