Di sisi lain, pemerintah tak berhenti membuka pasar. Perluasan kerja sama dagang digenjot melalui sejumlah perjanjian strategis. Misalnya, IEU-CEPA, ICA-CEPA, pembaruan ACFTA 3.0, dan yang baru saja ditandatangani pada 21 Desember lalu: Indonesia-EAEU Free Trade Agreement.
Bahkan dengan Amerika Serikat, negosiasi tarif resiprokal dikabarkan sudah capai kesepakatan substansi utama. Targetnya, rampung di awal 2026. Kalau ini terwujud, tentu bakal jadi angin segar baru.
Transisi energi juga dapat perhatian serius. Komitmen pendanaan lewat skema Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk Indonesia naik dari USD 20 miliar di 2022 menjadi USD 21,4 miliar di tahun ini. Ada tambahan dana yang signifikan, meski tantangan implementasinya masih menanti.
Untuk menjaga daya beli masyarakat, berbagai stimulus ekonomi dan bantuan sosial terus digelontorkan. Ada program diskon transportasi, event belanja nasional macam Harbolnas dan Indonesia Great Sale, serta penyaluran BLTS Kesra yang menjangkau hampir 30 juta keluarga penerima manfaat. Upaya ini jelas untuk meredam tekanan ekonomi di level akar rumput.
Menutup paparannya, Susiwijono berpesan, "Pergantian tahun merupakan momen strategis untuk melakukan refleksi atas pelaksanaan tugas dan fungsi kita." Sebuah pengingat bahwa setelah mencatat prestasi, evaluasi dan persiapan untuk langkah selanjutnya tak kalah pentingnya.
Artikel Terkait
Saham SRAJ Melonjak 599%, Sektor Kesehatan Jadi Primadona Pasar Modal 2025
CDIA Akhirnya Bagikan Dividen Perdana, Cair Awal 2026
Warga Sumatera Dapat Upah Langsung dari Negara Usai Bantu Bersihkan Puing Bencana
Pemegang Saham Besar BUMI Lepas 4,45 Miliar Saham di Tengah Kenaikan Harga