Jakarta panas terik. Di tengah riuh kendaraan modern dan serbuan aplikasi, Mukhtar (52) masih setia duduk di kemudi bajajnya. Sudah sejak 1995, lelaki asal Pemalang ini meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasib di ibu kota. Hampir tiga puluh tahun roda tiga itu menjadi rumah keduanya.
Tantangan? Banyak. Apalagi sekarang, di mana orang lebih sering menatap layar ponsel untuk memesan kendaraan. Penumpangnya makin sepi dari hari ke hari. Tapi Mukhtar punya musim keberuntungan sendiri: musim hujan.
"Kalau musim hujan banyak. Kalau panas kalah sama online, kan dia tarifnya lebih murah," ujarnya suatu siang di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Menurutnya, saat langit mendung dan hujan tiba-tiba mengguyur, banyak pekerja kantoran lebih memilih naik bajaj. Alasannya sederhana.
"Kalau pas lagi mau makan siang, orang kan takut basah. Kalau tukang bajaj ya ngarep-ngarepnya hujan, tapi yang dirugikan kan ojol," katanya sambil tertawa renyah.
Ia tahu tarif kendaraan online jauh lebih murah. Makanya, Mukhtar enggak pernah pakai argometer atau tarif pasti. Prinsipnya cuma satu: 'suka sama suka'.
"Mau dibawa saya suka, enggak ya wajar. Deal-dealan aja gitu," jelasnya.
Sambil menyetir, ia bercerita soal ritme kerjanya yang tak pernah menentu. Setiap hari, mulai subuh pukul setengah enam, dia sudah ngetem di sekitar Stasiun Gambir. Baru pulang sekitar jam delapan malam. Bisa 14 jam lebih dia tunggu, tapi dapat penumpang atau tidak, itu soal lain.
"Enggak menentu, kadang sampai 2 jam baru dapat. Saya dari pagi berangkat, pulang malam, itu dapat enggak dapat ya pulang juga," ceritanya dengan nada datar, seperti sudah terlalu sering merasakannya.
Artikel Terkait
DKI Jakarta Pertahankan Tahta UMP Tertinggi 2026, Dua Provinsi Tertinggal
ARPU Telekomunikasi Bangkit, XL Axiata Cetak Lonjakan Fantastis
Tiga Saham Gila-Gilaan Dipindahkan ke Papan Khusus BEI
Rayakan Akhir Tahun dengan Belanja Hemat, BRI Siapkan Diskon Hingga Jutaan Rupiah