Bajaj yang ia kendarai bukan miliknya sendiri. Itu berarti ada tuntutan setoran, sementara pendapatannya fluktuatif banget. Sepinya penumpang memaksanya terus bernegosiasi dengan pemilik kendaraan. Alhamdulillah, sekarang setorannya bukan per hari lagi, tapi per minggu. Itu sedikit meringankan.
Harapannya sih sederhana: dalam sehari bisa meraup penghasilan kotor sekitar Rp 200 ribu.
"Jadi nanti untuk setoran paling enggak Rp 100 ribu. Sisa Rp 100 ribu lagi buat saya," ucap Mukhtar merinci.
Kebanggaan di Balik Kemudi
Di balik semua kesulitan, ada satu pencapaian yang bikin Mukhtar tersenyum lega. Ia berhasil menguliahkan anaknya.
"Sudah lulus setahun lalu, kuliah di Yogya, di UAD," ceritanya, bangga terpancar jelas.
Kini anaknya itu sudah diterima kerja di sebuah perusahaan multinasional. Mukhtar tak hafal detailnya, tapi yang penting anaknya sudah mandiri.
Sementara dia? Masih bertahan dengan bajaj. Faktor usia jadi salah satu alasannya. Tapi lebih dari itu, ada kebingungan yang wajar. Setelah puluhan tahun, beralih profesi itu rasanya seperti mulai dari nol lagi.
"Karena sudah tua, mau ganti profesi apa? Profesi apa yang kita mampu?" ujarnya retoris. "Anak saya aja yang setara susah cari kerja yang layak. Apalagi saya, pendidikannya minim. Sekarang kan semuanya serba pakai IQ, pakai tes, segala macam."
Dan dengan segala pertimbangan itu, Mukhtar memilih untuk tetap berkutat dengan kemudi, menunggu hujan, dan menawar dengan prinsip 'suka sama suka'. Sebuah kesetiaan yang langka di tengah kota yang terus berubah dengan cepat.
Artikel Terkait
DKI Jakarta Pertahankan Tahta UMP Tertinggi 2026, Dua Provinsi Tertinggal
ARPU Telekomunikasi Bangkit, XL Axiata Cetak Lonjakan Fantastis
Tiga Saham Gila-Gilaan Dipindahkan ke Papan Khusus BEI
Rayakan Akhir Tahun dengan Belanja Hemat, BRI Siapkan Diskon Hingga Jutaan Rupiah