Pemerintah kembali mendorong para pelaku industri untuk lebih serius menangani tata kelola lingkungan. Isu pengelolaan limbah, khususnya, dinilai perlu mendapat perhatian ekstra. Tak hanya itu, industri juga didesak untuk lebih aktif dalam program Extended Producer Responsibility atau EPR.
Lalu, apa sebenarnya EPR itu? Singkatnya, ini adalah kebijakan yang mewajibkan produsen bertanggung jawab penuh atas produknya, bahkan setelah dikonsumsi. Tanggung jawab itu mencakup segala hal, mulai dari desain awal, produksi, hingga tahap akhir ketika produk itu berubah menjadi sampah yang harus dikumpulkan dan didaur ulang.
Tanpa langkah-langkah mendasar, ancamannya nyata. Menurut Leonardo A. A. Teguh Sambodo, Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup di Bappenas, Indonesia berpotensi menghadapi krisis sampah dalam waktu dekat. Proyeksi mereka cukup mengkhawatirkan: timbunan sampah domestik bisa melonjak hingga lebih dari 82 juta ton per tahun pada 2045 jika pola saat ini terus berlanjut.
"Sejak 2019, baru sekitar 26 produsen yang menyerahkan peta jalan EPR mereka," ungkap Leonardo dalam acara AH Connect Antara di Jakarta, Selasa (23/12).
"Ada kesenjangan yang nyata antara regulasi dan kesiapan industri. Makanya, kita mungkin bertanya-tanya dan ini akan didiskusikan hari ini mengapa 70-80 persen industri kita masih ragu menerapkan EPR."
Bagi Leonardo, kondisi ini menunjukkan ekosistem industri kita belum siap. Padahal, EPR seharusnya jadi instrumen kunci untuk mendorong ekonomi sirkular. Dia memperingatkan, tanpa intervensi kebijakan yang kuat, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di berbagai daerah diprediksi bakal penuh total pada 2028.
Di sisi lain, EPR sendiri sebenarnya lebih dari sekadar aturan lingkungan. Ia dipandang sebagai kebijakan transformasi industri yang menggeser tanggung jawab pengelolaan pascakonsumsi dari pemerintah ke pundak produsen. Logikanya, produsen punya kontrol lebih besar terhadap desain dan material, jadi mereka harus ikut menanggung beban sampahnya.
"Ruang perbaikan kita masih luas," lanjut Leonardo.
"Indonesia perlu memperkuat penegakan hukum, sambil memberi insentif bagi industri yang sudah mulai bergerak ke arah sirkular. Di sinilah harmonisasi regulasi jadi kunci."
Artikel Terkait
Abon Serang dan Rendang Padang: Solidaritas Sesama Nasabah untuk Korban Bencana
Rupiah Tergelincir ke Rp16.787, Dihantam Sentimen Global dan Kredit Menganggur Rp2.500 Triliun
IHSG Tersungkur 61 Poin, Tekanan Jual Melanda Hampir Semua Sektor
Sentimen China dan Biodiesel Dorong Harga CPO Menguat Dua Hari Berturut-turut