Setiap pagi, kompor di dapur kecil Bu Wasiati di gang Pathuk, Yogyakarta, tetap menyala. Sudah begitu bertahun-tahun. Tangannya mengaduk adonan Bakpia 526 dengan gerakan yang tak pernah berubah, meski hari-hari sekarang jauh lebih sepi ketimbang dulu. Di tengah menjamurnya merek-merek baru dan geliat penjualan online, harapannya sederhana: dagangannya tetap laku, dan rasa yang menjadi hidupnya itu tak pernah berubah.
Bakpia buatannya bukan cuma kudapan manis biasa. Ini adalah cerita hidupnya. Sejak awal 90-an, Bu Wasiati sudah terlibat dalam produksi bakpia rumahan di Pathuk kawasan yang dulu dikenal sebagai pusat oleh-oleh Yogya. Modal pas-pasan, peralatan seadanya. Dari dapur rumah itulah ia menghidupi keluarga, jauh sebelum bakpia menjelma jadi industri besar seperti sekarang.
Kala itu, Pathuk ramai sekali. Wisatawan berdatangan, pesanan menumpuk. Bakpia bikinan pengrajin kampung jadi buah tangan wajib pulang dari Jogja. Tapi zaman bergulir, dan perubahan pun datang perlahan.
“Sekarang orang lebih lihat bungkusnya dulu,” ucap Bu Wasiati pelan. Suaranya hampir tenggelam oleh bunyi adonan yang diaduk.
Memang, bakpia sekarang bukan lagi cuma soal rasa. Kemasan, merek, dan kehadiran di dunia digital ikut bicara. Beberapa tahun belakangan, penurunan pembeli mulai terasa. Produksi yang dulu memenuhi rak-rak toko kini menyusut. Loyang-loyang tua di sudut dapur sering masih kosong saat senja tiba.
“Sekarang bikin sedikit saja, takut tidak habis,” katanya singkat.
Meski begitu, ia tak mau mengubah cara kerjanya. Bagi Bu Wasiati, menjaga kualitas itu bukan sekadar strategi dagang. Itu prinsip hidup yang tak bisa ditawar-tawar.
Artikel Terkait
Modal Asing Rp 240 Miliar Serbu Pasar Saham dan SRBI di Akhir 2025
Keputusan MA Delaware Pacu Kekayaan Elon Musk Tembus Rp 12.500 Triliun
Pemerintah Batalkan Target Produksi Nikel dan Batu Bara, Harga Jadi Taruhan
Emas Siap Cetak Rekor Baru, Dipacu Gejolak Politik Global dan Sinyal The Fed