Mitos Multitasking Perempuan: Ketika Stereotip Dianggap Fakta Ilmiah

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 20:06 WIB
Mitos Multitasking Perempuan: Ketika Stereotip Dianggap Fakta Ilmiah

Multitasking Perempuan: Mitos yang Terlanjur Dipercaya

Sudah jadi anggapan umum, kan? Perempuan dianggap lebih jago mengerjakan banyak hal sekaligus dibanding laki-laki. Stereotip ini begitu mengakar, sampai-sampai dianggap sebagai fakta ilmiah yang tak terbantahkan. Padahal, kalau kita telisik lebih dalam, klaim ini lebih tepat digolongkan sebagai pseudoscience keyakinan yang tampak ilmiah, tapi minim bukti penelitian yang solid.

Sebelum jauh, kita perlu sepakati dulu apa itu multitasking. Istilah ini sering dipakai untuk dua hal. Pertama, mengerjakan dua tugas benar-benar bersamaan, seperti nyetir sambil telepon ini sering disebut dual-tasking. Kedua, yang lebih umum sebenarnya, adalah task switching: cepat-cepat berpindah perhatian dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Misalnya, mengetik email lalu teralihkan oleh notifikasi chat, lalu balik lagi ke email. Dua hal ini kerap disamaratakan, padahal beda.

Apa Kata Penelitian?

Nah, ini yang menarik. Para peneliti justru sepakat bahwa otak manusia tidak dirancang untuk fokus optimal pada dua tugas kompleks di saat bersamaan. Yang terjadi sebenarnya adalah alih perhatian yang cepat. Pola ini, alih-alih membuat kerja lebih efisien, justru berpotensi menurunkan kualitas dan meningkatkan kesalahan. Berlaku untuk semua orang, tanpa pandang gender.

Namun begitu, stereotipnya tetap kuat. Dalam sebuah studi, separuh partisipan percaya perempuan lebih unggul dalam hal ini. Bahkan 80% dari mereka yang memang meyakini ada perbedaan gender, mempercayai klaim tersebut. Media populer dan buku-buku non-ilmiah turut mengukuhkannya dengan narasi klasik: perempuan bisa mengurus rumah, anak, dan karier sekaligus dengan lancar.

Beberapa pihak mencoba mencari pembenaran lewat teori evolusi. Argumennya, di zaman pemburu-pengumpul, laki-laki fokus berburu (tugas spasial), sementara perempuan mengasuh dan mengelola rumah (butuh alih perhatian). Tapi sampai detik ini, belum ada bukti kuat bahwa peran masa lalu itu menciptakan keunggulan biologis multitasking pada perempuan modern.

Lebih lanjut, studi tadi menunjukkan hal yang kontradiktif. Sekitar 64% partisipan yang percaya keunggulan perempuan menyebut alasan pengasuhan anak dan urusan rumah. Tapi anehnya, 73% dari kelompok yang sama juga percaya bahwa perempuan tanpa anak tetap lebih baik. Ini menunjukkan stereotip itu dianggap sebagai sifat bawaan, bukan sekadar hasil latihan atau pengalaman sehari-hari.

Contoh narasi yang sering kita dengar: seorang ibu bisa masak, jaga anak supaya tidak jatuh, sambil balas pesan di grup WA. Kelihatannya luar biasa. Tapi penelitian membuktikan, dalam kondisi seperti itu, performa untuk tiap tugas biasanya menurun. Yang terlihat sebagai "keahlian" seringkali cuma pergantian tugas yang cepat, bukan penyelesaian yang lebih baik atau lebih cepat.

Lalu, Bagaimana dengan Pola Kerja Otak?


Halaman:

Komentar