Ketika material tersebut masuk ke industri daur ulang informal dan dilebur, radioaktivitasnya tidak hilang, melainkan menyebar ke udara, tanah, dan perairan. Banyak perusahaan mengklaim praktik ramah lingkungan, namun kasus Cs-137 membuktikan bahwa keberlanjutan sejati diukur dari keamanan dan transparansi proses, bukan sekadar volume daur ulang.
Solusi Sistemik Menuju Ekonomi Sirkular yang Regeneratif
Pertama, diperlukan pembuatan "material passport" nasional. Setiap logam dan bahan berpotensi berbahaya harus memiliki paspor digital yang mencatat asal-usul, komposisi, dan riwayat perjalanannya. Teknologi seperti blockchain dapat menjamin ketertelusuran yang akurat.
Kedua, pemerintah perlu mendesain ulang insentif ekonomi. Daur ulang yang aman harus lebih menguntungkan secara finansial daripada daur ulang cepat. Pemberian subsidi pajak bagi fasilitas yang memiliki detektor radiasi dan sistem pelaporan publik dapat menjadi contoh.
Ketiga, peningkatan kapasitas SDM dan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga mutlak diperlukan. BAPETEN, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bekerja dalam satu sistem terpadu.
Keempat, menciptakan keadilan lingkungan. Masyarakat pesisir dan pekerja daur ulang tidak boleh menjadi pihak pertama yang menanggung risiko kontaminasi.
Kelima, transparansi data lingkungan harus menjadi infrastruktur dasar industri. Publikasi data radioaktif secara terbuka dapat memulihkan dan membangun kepercayaan global terhadap produk ekspor Indonesia.
Momentum untuk Reformasi dan Pembenahan Sistemik
Insiden Cesium-137 pada udang Indonesia adalah pelajaran berharga. Pencegahan selalu lebih murah daripada pemulihan. Krisis ini adalah sinyal bahwa sistem produksi kita masih linear dalam struktur, meski dikemas dengan label "sirkular".
Ekonomi sirkular sejati membutuhkan fondasi pengetahuan, integritas data, dan komitmen pada keselamatan. Tanpa pembenahan tata kelola limbah, penerapan prinsip ketertelusuran, dan kesadaran bahwa daur ulang yang tidak aman adalah polusi terselubung, Indonesia berisiko membangun masa depan yang tampak hijau di permukaan, tetapi rapuh di fondasinya.
Artikel Terkait
Gawai vs PR: Mengapa Anak Rajin di Sekolah, Malas Belajar di Rumah?
Antarmuka: Penerjemah Tak Kasat Mata yang Menentukan Nasib Tanaman Hidroponik
Soundcore Luncurkan Earbuds Tidur yang Bisa Netralisir Dengkuran
Meta Rogoh Rp 32 Triliun untuk Akuisisi Startup AI Singapura, Manus