Menurut catatan sejarah, Gresik memiliki sistem "pelabuhan kembar" dengan fungsi berbeda. Karang Kiring khusus menangani kegiatan ekspor-impor, sementara Pulau Mengare melayani aktivitas perikanan.
Babak penting sejarah pelabuhan ini dimulai dengan kedatangan Maulana Malik Ibrahim sekitar tahun 1379. Kehadiran pedagang dari berbagai wilayah seperti Gujarat, India, Champa, Tiongkok, dan Eropa menjadikan Gresik sebagai melting pot budaya dan ekonomi yang sangat dinamis.
Berkintegritas tinggi dan berakhlak mulia, Maulana Malik Ibrahim mendapatkan kepercayaan dari Kerajaan Majapahit untuk berdagang sekaligus menyebarkan ajaran Islam. Pada tahun 1394, di usia 49 tahun, ia diangkat menjadi Syahbandar Pelabuhan Gresik dan memindahkan lokasi pelabuhan ke wilayah timur tempat tinggalnya.
Kepemimpinan pelabuhan kemudian diteruskan oleh Raden Ali Murtadho (Raden Santri) yang menjabat pada usia muda sekitar 20 tahun. Ia melakukan relokasi pelabuhan ke wilayah timur makam pendahulunya. Namun, situasi politik di Majapahit sempat menyebabkan kekosongan jabatan syahbandar selama kurang lebih sembilan tahun.
Masa keemasan Pelabuhan Gresik mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Nyai Ageng Pinatih, putri pedagang dari Palembang. Diangkat pada usia 76 tahun, ia berhasil membawa pelabuhan menuju era kejayaannya. Warisan kepemimpinannya masih dapat dilacak melalui penamaan berbagai lokasi seperti Kampung Sidopekso (pos keamanan), Kampung Kemasan (area penginapan), Kampung Begedongan (gudang penyimpanan), dan Kampung Mangkatan (area persiapan barang).
Transformasi Menuju Kawasan Industri
Kejayaan Pelabuhan Gresik mulai meredup seiring dengan masuknya VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Untuk memusatkan kontrol perdagangan dan memanfaatkan infrastruktur yang lebih modern, VOC memindahkan seluruh aktivitas ekspor-impor ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
Pelabuhan Gresik kemudian mengalami reklamasi dan bertransformasi menjadi kawasan seperti yang kita lihat sekarang. Saat ini, kawasan pelabuhan telah berubah menjadi area tertutup yang khusus melayani terminal penumpang kapal menuju Pulau Bawean serta kegiatan bongkar muat barang.
Akses masuk ke area pelabuhan dikenakan biaya parkir dan retribusi, dengan pembatasan hanya untuk kepentingan bisnis resmi. Meskipun telah kehilangan fungsi wisatanya, kenangan akan kejayaan masa lalu Pelabuhan Gresik tetap hidup dalam cerita turun-temurun masyarakat setempat.
Warisan sejarah ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Gresik, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya melestarikan memori kolektif bangsa untuk menginspirasi generasi mendatang.
Artikel Terkait
Ribuan Personel dan Alat Berat Dikerahkan untuk Bersihkan Sisa Amukan Banjir di Sumatera
BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Landa Sejumlah Wilayah hingga Awal 2026
Gotong Royong Brimob dan Warga Agam: Dari Sekolah hingga Posko Kesehatan
Waspada Hujan Lebat dan Angin Kencang Melanda Jabodetabek Siang Ini