Kebijakan pemerintah untuk menghapus impor beras industri dan beras khusus dari Neraca Komoditas 2026 mulai menuai kritik. Menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), langkah ini berisiko menciptakan hambatan baru di sektor pangan kita. Yang jadi masalah, data produksi dalam negeri sendiri belum bisa dibilang akurat seratus persen.
“Kebutuhan beras untuk industri olahan memiliki spesifikasi dan karakteristik yang berbeda dari beras konsumsi oleh petani lokal,” jelas Hasran, Peneliti dan Analis Kebijakan Senior CIPS, dalam keterangannya, Minggu (28/12/2025).
“Menutup pintu impor tanpa mempertimbangkan akurasi data dan jaminan pasokan domestik yang sesuai standar industri hanya akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” tegasnya.
Intinya, kalau akses terhadap beras dengan kualitas tertentu jadi terbatas, biaya produksi bisa melonjak. Dan ujung-ujungnya, beban itu akan berakhir di pundak masyarakat sebagai konsumen akhir. Harga produk olahan berbasis beras berpotensi naik tahun depan.
Di sisi lain, riset CIPS mengungkapkan bahwa sistem Neraca Komoditas selama ini sering gagal menyajikan data yang rinci. Tanpa pemetaan yang akurat soal varietas dan spesifikasi, kebijakan penutupan impor cuma akan memperlebar jurang antara angka di atas kertas dengan realita di lapangan. Ketimpangan itu yang dikhawatirkan.
Masalah lain juga muncul dari prosesnya sendiri. Penetapan NK 2026 ini ternyata melampaui batas waktu yang diatur. Perpres Nomor 7 Tahun 2025 menyebutkan penetapan harusnya dilakukan paling lambat hari kerja ketujuh di bulan Desember. Nyatanya, baru diumumkan tanggal 16 Desember 2025.
Artikel Terkait
Indonesia Tebus Tarif AS dengan Komitmen Belanja Energi Rp250 Triliun
Big Bang Festival 2025 Siap Hantam Jakarta dengan Panggung Terbesar dan Diskon Gila-gilaan
Harga Beras di Indonesia Timur Masih Terganjal Medan, Meski Trennya Mulai Turun
Korban Tewas Rentetan Bencana Sumatra Tembus 1.140 Jiwa, 163 Masih Hilang