Langit di atas Pantai Batu Hiu sore itu berwarna jingga. Di antara deburan ombak, suara seorang pria paruh baya terdengar lirih namun bergetar. "Kami di sini... hari ke hari, bulan ke bulan," ujarnya. Tempat ini mungkin tak seindah bayangan banyak orang. Tapi di sini, jiwa-jiwa yang rapuh justru bersikukuh menerima sebuah kenyataan. Seperti penyu, makhluk yang hidup dengan sejuta ancaman, kami pun berusaha tak gentar. Untuk mereka, kami akan bertahan.
Itu bukan sekadar kata-kata. Itu adalah janji yang terpatri di antara butiran pasir. Sebuah narasi besar tentang seseorang yang memilih 'menjadi rumah' bagi makhluk yang tak bersuara.
Pria itu adalah Pak Kurdi. Tangannya yang dulu akrab memegang kamera dan kuas, kini juga memegang nasib makhluk purba yang nyaris punah. Ia meninggalkan zona nyamannya sebagai seniman, demi menjaga sebuah warisan yang hampir terkubur: napas kehidupan para penyu. Kisah ini lebih dari sekadar penangkaran. Ini tentang kesetiaan, pengabdian yang kerap disalahpahami, dan sebuah janji yang ditunaikan hingga ujung hayat.
Akar Perjuangan yang Terjal
Semuanya berawal jauh sebelumnya, di tahun 1983. Saat itu, masyarakat pesisir masih memandang penyu sebagai komoditas belaka. Dagingnya untuk santapan, telurnya diburu, cangkangnya jadi cenderamata. Di tengah keriuhan eksploitasi itu, muncullah seorang pria bernama Didin Saefudin mertua Pak Kurdi.
Didin merasa iba. Setiap penyu yang mati, baginya, adalah langkah menuju kepunahan. Namun perjuangannya sama sekali tidak mudah.
Dengan pendekatan dakwah, ia mencoba menyentuh hati warga. Hasilnya? Bukannya dapat dukungan, ia malah dianggap menghalangi rezeki. Didin sempat dicap sebagai "orang gila" dan dikucilkan.
"Dulu, Bapak tuh sampai dianggep orang gila neng sama orang sini," kenang Pak Kurdi. Tapi kegigihannya tak padam. Perlahan, ia merangkul kerabat dan sahabat yang sepahaman.
Setelah dua dekade bergerilya dalam kesunyian, upayanya akhirnya dilirik. Tahun 2003, berdirilah Kelompok Pelestari Biota Laut (KPBL). Tempat itu tak cuma jadi penangkaran, tapi juga stasiun pengawasan di pesisir.
Dihantam Tsunami, Lalu Diuji Pengkhianatan
Alam punya caranya sendiri menguji komitmen. Tahun 2006, tsunami meluluhlantakkan Pangandaran. KPBL yang masih seumur jagung ikut porak-poranda. Gelombang raksasa itu melumat bangunan, juga mimpi. Ratusan jiwa hilang, semangat kelompok pun nyaris pupus.
Tapi di tengah puing, Pak Didin dan istrinya berdiri tegak. Mereka membangun kembali segalanya dari nol. Setiap hari, berdua menjinjing jerigen air laut dari pantai untuk mengisi kolam penyu yang lokasinya terpaksa dipindah lebih jauh.
"Kebayang gak tuh dulu Bapak sama Ibu sampai ngangkat-ngangkat jerigen berdua dari depan ke sini," ujar Pak Kurdi menggambarkan betapa beratnya.
Perjuangan itu berbuah. KPBL bangkit lagi di tahun 2009. Nama Didin pun harum, mendapat berbagai penghargaan nasional.
Artikel Terkait
Helikopter Polri Menembus Banjir, Bantuan Turun dari Langit untuk Aceh Tamiang
Pengusaha Soroti Beban Ganda: UMP Jakarta Rp5,73 Juta dan Tarif Ekspor AS
Bulan Jadi Medan Perang Dingin Baru, Rusia dan AS Siapkan Reaktor Nuklir
Babe Haikal: Sertifikasi Halal 2026 Bukan Sekadar Urusan Label