Tanah di sisi kuburan itu masih terasa lembap, meski hujan terakhir sudah seminggu berlalu. Aroma khas tanah basah dan bau anyir yang samar-samar masih menyengat. Di antara rumput liar, seekor anjing kurus terbujur kaku. Bulunya yang dulu mungkin cokelat keemasan, kini mulai rontok. Matanya terpejam rapat. Orang-orang yang lewat cuma bisa berbisik, "Mungkin sudah tiga hari," lalu cepat-cepat pergi. Tapi, tak seorang pun tahu bagaimana ia bisa berakhir di tempat seperti itu.
Suasana sama sekali berbeda di sebuah penampungan hewan di pinggiran kota. Gonggongan riuh memenuhi ruangan. Bau karat besi dan makanan basi menempel di udara. Lampu redup berayun-ayun. Di balik jeruji, seekor anjing golden retriever betina hanya diam memojok. Ia menunduk, seakan semua harapan telah sirna. Sementara anjing lain melompat-lompat menyambut pengunjung, ia memilih bersembunyi. Di buku catatan, namanya cuma tertulis: "Betina, 1 tahun, sehat."
Lalu, datang seorang pria. Wajahnya sukar dibaca, tertutup kacamata hitam. Langkahnya perlahan mengitari ruangan, matanya menyisir setiap kandang.
"Pasti aku yang diambil. Lihatlah, aku cantik dan lincah," gonggong seekor pudel percaya diri.
"Iya, beda jauh sama si penyendiri di pojok itu. Bulu rontok, lesu. Siapa yang mau?" sindir seekor chihuahua, melirik ke arah si golden retriever.
Anjing betina itu mendengar, tapi tak membalas. Ia sudah pasrah. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Pria itu tiba-tiba mengangkat jari, menunjuk ke arahnya.
"Aku mau yang itu," ucapnya datar.
Semua terdiam, termasuk si golden retriever. Relawan penampungan pun menyerahkannya dengan senyum lega, mengira ini akhir yang bahagia.
Tapi ternyata, tempat barunya jauh dari kata "rumah". Ruangannya lembap dan pengap, bau obat kimia menusuk hidung. Meja-meja baja berjejer dingin, dipenuhi alat-alat logam yang berkilau sinis di bawah lampu neon. Udara terasa mencekik.
Anjing itu mulai gelisah. Langkah kaki pria itu menggema.
"Diam. Kalau berontak, nanti lebih sakit," gumam pria itu, suaranya tawar seperti besi di tangannya.
Jarum suntik menembus kulitnya. Rasa panas menjalar. Pandangannya berkunang-kunang. Ia mengeluarkan gonggongan lemah, lebih seperti ratapan. Hari-hari berikutnya ia habiskan dalam kesunyian yang patah oleh suara desis dan tetesan cairan. Di pojok ruangan, ia melihat sesama anjing terbaring kaku, matanya kosong. Bau darah dan logam semakin pekat.
"Tenang, besok giliranmu," kata pria itu suatu saat, entah kepada siapa.
Ketakutan memacu nalurinya. Ia mulai mempelajari pola: suara kunci, langkah kaki, dan momen-momen sepi saat sang pria pergi.
Kesempatan itu datang pada suatu malam berhujan lebat. Petir menggelegar. Dan ia melihatnya: celah kecil di pintu besi yang tak tertutup rapat. Mungkin karena kelalaian, tapi baginya, itu adalah pintu harapan.
Dengan napas tersengal, ia menyusur mendekat. Luka di kakinya perih, tapi ia terus maju.
"Kau mau pergi?" bisik serak dari kandang sebelah.
"Aku... harus mencoba," jawabnya gemetar.
"Kalau berhasil... ingat kami," suara itu terpotong batuk.
Artikel Terkait
Mata yang Menutup Langit: Kisah Malvin dan Perang Terakhir Umat Manusia
BI Pastikan Pasokan Uang Tunai Tetap Lancar di Daerah Rawan Bencana Sumatera
Tiket Diskon KAI Nataru 2025/2026 Tembus 178 Ribu, Masih Ada Sisa!
Persebaya Siap Hadang Borneo FC, Nawawi Incar Malapetaka Ketiga untuk Pesut Etam