Suasana di Sidang Kabinet Paripurna, Senin siang itu, tegang. Presiden Prabowo Subianto tampak tak bisa menyembunyikan kegeramannya. Yang jadi sasaran kemarahannya? Ulah sejumlah pejabatnya sendiri yang datang ke lokasi bencana, dari Aceh hingga Sumbar, tapi lebih banyak cari muka ketimbang benar-benar bekerja.
“Saya mohon,” ujarnya tegas di hadapan seisi kabinet di Istana Merdeka, “jangan pejabat-pejabat, tokoh-tokoh datang ke daerah bencana hanya untuk foto-foto dan dianggap hadir.”
Pernyataannya blak-blakan. Bencana alam, dalam pandangannya, sama sekali bukan panggung untuk absensi atau ajang pencitraan.
Menurut Prabowo, kehadiran pejabat entah dari pusat atau daerah harus memberi solusi nyata. Bukan cuma sekadar laporan rutin yang kemudian dilaporkan lagi ke atasannya. Kalau cuma datang untuk terlihat sibuk, efeknya justru buruk: rakyat yang melihat akan jadi sinis.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahaya yang lebih mengerikan: lahirnya ‘budaya wisata bencana’. Istilah itu ia lontarkan untuk menggambarkan praktik menjadikan penderitaan rakyat sebagai objek tontonan atau bahkan alat kampanye politik. “Kita tidak mau ada budaya itu. Jangan,” tegas Ketum Gerindra tersebut.
Artikel Terkait
Said Didu Beri Sinyal Bahaya: Kudeta Sunyi Mengintai Istana?
Banjir Bandang Sumatera: Penegakan Hukum atau Pencarian Kambing Hitam?
Aturan Baru Kapolri Buka Pintu Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Disorot Langgar Putusan MK
Pengamat Bantah Rumor Persaingan Dasco dan Sjafrie: Dua Pilar Penopang, Bukan Rival