Di sisi lain, di tengah gencatan senjata yang berlaku sejak Oktober lalu, krisis kemanusiaan di Gaza sama sekali belum reda. Data PBB menunjukkan bantuan yang masuk jauh dari target hanya 100 sampai 300 truk per hari, padahal seharusnya 600. Sebagian besar isinya malah barang komersial, yang tetap tak terjangkau oleh mayoritas dari 2,2 juta penduduk Gaza.
Kisah Khitam Ayada, seorang pengungsi berusia 30 tahun, mungkin bisa menggambarkan situasi sebenarnya. Beberapa hari lalu, dengan kondisi ginjal yang sakit, ia datang ke Al-Awda.
Sektor kesehatan memang jadi salah satu yang paling remuk. Selama perang berlangsung, Israel berulang kali menarget rumah sakit dengan alasan Hamas memanfaatkannya sebagai markas tuduhan yang selalu dibantah oleh kelompok tersebut.
Akibatnya, kini sekitar sepertiga dari 2.300 tempat tidur rumah sakit di Gaza dikelola oleh organisasi seperti Doctors Without Borders. Bahkan, semua pusat stabilisasi untuk anak-anak yang mengalami malnutrisi parah sepenuhnya bergantung pada dukungan LSM internasional.
Semua ini berawal dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.221 orang kebanyakan warga sipil. Perang itu memicu gelombang penderitaan yang hingga kini masih terus berdenyut, dengan rumah sakit-rumah sakit seperti Al-Awda berjuang mati-matian hanya untuk bertahan hidup hari demi hari.
Artikel Terkait
Tanggul Kali Babon Jebol, Ratusan Rumah di Semarang Tergenang Banjir
UMP DKI 2026 Rp5,73 Juta, KSPI Tolak dan Soroti Kalah dari UMK Bekasi
Bibit Siklon 96S Mengancam, BMKG Imbau Warga Pesisir Waspada
Delapan Tahun Berjalan, KPK Akhiri Penyidikan Korupsi Tambang Konawe Utara