"Jika seseorang dapat dihukum hanya karena asumsi bahwa uang yang diterima berkaitan dengan pengurusan perkara, tanpa bukti faktual yang jelas, maka yang runtuh bukan hanya satu perkara, tetapi seluruh sistem hukum kita," tegas Maqdir.
Ia bersikukuh, hukum pidana mensyaratkan alat bukti yang kuat dan kesaksian yang sah. Artinya, kesaksian harus berdasarkan apa yang benar-benar dilihat, didengar, atau dialami sendiri oleh saksi. Dan menurutnya, keterangan Liyanto di persidangan kemarin tak memenuhi syarat itu karena bukan saksi fakta langsung.
"Kalau sejak awal keterangan itu tidak memenuhi syarat pembuktian, mengapa tidak ditolak? Ini yang kami persoalkan," ujar Maqdir dengan nada tinggi.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama pembelaan mengajukan keberatan. Nurhadi dan tim pengacaranya sebelumnya sudah mengajukan eksepsi atas dakwaan. Sayangnya, majelis hakim memutuskan untuk melanjutkan perkara ke tahap pemeriksaan pokok. Nah, di situlah Maqdir kini bertekad membuktikan seluruh keberatan mereka, lewat pemeriksaan saksi-saksi nanti.
Ia juga menyoroti soal teknis. "Sepengetahuan kami, Mahkamah Agung telah mengatur secara tegas bahwa pemeriksaan saksi secara online harus dilakukan dari kantor kejaksaan atau pengadilan. Prosedur ini seharusnya dipahami dan dipatuhi oleh penuntut umum," tambahnya.
Nurhadi sendiri menghadapi dakwaan berat. Ia didakwa menerima gratifikasi sekitar Rp137,1 miliar yang dikaitkan dengan pengurusan perkara di MA, plus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai fantastis: Rp452 miliar. Sidang masih panjang, dan suasana di ruang pengadilan dipastikan akan tetap tegang.
Artikel Terkait
Bencana Sumatera Ancam Keberangkatan 20 Ribu Calon Haji 2026
Maduro Balas Trump: Urus Saja Dulu Negeri Anda Sendiri
Mendagri Tito Sebut Kondisi Aceh Tamiang Agak Beda, Penanganan Lintas Kementerian Digeber
Jenazah Korban Kebakaran Hong Kong Tiba, Menteri Hadir di Bandara