Tugas juru bicara adalah menerjemahkan dokumen kaku itu menjadi sesuatu yang mudah dicerna. Medium utamanya seringkali media massa, yang memakai bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik itu ringkas, padat, pakai kalimat aktif, dan langsung ke inti persoalan.
Nah, terkait hal ini, saya jadi teringat pengalaman sendiri dulu. Waktu mengelola kanal detikEdu di detikcom, ada sebuah lembaga pemerintah yang ingin jurnal penelitiannya dibaca khalayak luas, bukan cuma kalangan kampus.
Akhirnya, jurnal-jurnal terpilih kami ringkas dan kurasi bersama tim humas lembaganya. Tujuannya sederhana: agar artikel yang terbit nanti tetap setia pada substansi aslinya, tapi disajikan dengan gaya yang lebih renyah. Pendekatan serupa sebenarnya bisa dipakai untuk menyosialisasikan kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, zaman sekarang sosialisasi tidak bisa mengandalkan media mainstream saja. Media sosial seperti Twitter, Instagram, hingga TikTok punya bahasanya sendiri. Bahasanya santai, penuh slang, emoji, dan campuran bahasa. Lebih emosional dan personal. Di sini, narasi panjang justru jadi bumerang. Visual seperti meme atau video pendek lebih disukai.
Kunci Utamanya: Satu Pemahaman Dulu Sebelum Menulis
Dulu, ada seorang menteri keuangan di era Presiden SBY yang punya kebiasaan unik. Sebelum mengumumkan kebijakan penting, dia mengundang dan mengumpulkan para jurnalis terlebih dulu. Kala itu media sosial belum sebooming sekarang, jadi yang diundang ya awak media konvensional.
Di pertemuan itu, sang menteri dan stafnya menjelaskan secara gamblang pilihan-pilihan kebijakan yang sedang dipertimbangkan pemerintah, lengkap dengan dampaknya. Misalnya, soal wacana pencabutan subsidi BBM. Mereka jabarkan dari A sampai Z: definisi subsidi, sektor yang berhak menerima, hingga konsekuensi jika subsidi dicabut.
Harapannya, ketika kebijakan resmi diumumkan, para jurnalis sudah punya pemahaman yang utuh. Alhasil, tulisan mereka bisa lebih jernih, akurat, dan yang paling penting mudah dipahami masyarakat biasa.
Strategi ‘membumikan’ bahasa kebijakan seperti ini tetap relevan, meski sekarang zamannya sudah berubah. Di era digital, yang perlu diajak bicara bukan cuma jurnalis, tapi juga para pegiat dan influencer media sosial. Prinsipnya sama: satukan visi dan pemahaman dulu, baru sebarkan.
Erwin Dariyanto. Jurnalis, pemerhati masalah komunikasi dan kebijakan publik alumni Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia.
Artikel Terkait
BRIN Kerahkan Drone Radar Penembus Tanah untuk Evakuasi Korban Banjir Sumatera
Kemensos Rinci Santunan Rp 15 Juta hingga Bantuan Hidup Harian untuk Korban Bencana Sumatera
Tim Gabungan Sidak Pasar dan Gudang Bulog Pekanbaru, Pastikan Stok Aman Jelang Libur Natal dan Tahun Baru
Bakti Sosial di Muara Angke: Dukung Perempuan Pesisir, Wujudkan Asta Cita