Hari itu, Jumat petang di penghujung 2025, suasana Taman Menteng terasa lengang. Di bawah kerimbunan pohon beringin, angin sesekali membawa asap dan aroma sate kambing yang dibakar pedagang. Di tengah suasana santai itu, seorang kawan mantan staf khusus sebuah kementerian mulai bercerita. Atau dalam bahasa gaulnya, curhat.
Dulu, posisinya cukup strategis. Dia membantu seorang menteri di bidang komunikasi publik, sekaligus bertindak sebagai juru bicara. Wajah kementerian, baik atau buruk, banyak bergantung pada caranya menyampaikan cerita. Tanggung jawabnya berat: menyebarluaskan setiap kebijakan dan capaian agar sampai ke publik.
“Harus siap 24 jam,” katanya sambil tertawa getir. Ponselnya hampir tak pernah benar-benar hening. Panggilan dari menteri bisa datang kapan saja. Belum lagi rentetan chat dari para wartawan yang mengejar konfirmasi, tak peduli itu dini hari atau tengah malam buta.
Selain jadi sasaran telepon, dia juga harus siaga menjawab segala pertanyaan media. Sesulit apapun. Makanya, mengikuti isu terkini dan tren yang lagi viral di masyarakat bukan pilihan, tapi keharusan. Kalau tidak, bisa-bisa dia kebingungan sendiri.
Namun begitu, tantangan terbesarnya justru datang dari dalam. Meneruskan kebijakan pemerintah ke masyarakat itu gampang-gampang susah. Bukan sekadar meneruskan, tapi harus memastikan pesannya sampai dan dipahami dengan benar. Di sinilah juru bicara dan tim humas dituntut jeli.
Mereka harus pintar memilih strategi dan bahasa. Soalnya, tak jarang kebijakan yang sebenarnya bagus justru gagal diterima karena cara menyampaikannya yang kaku. Bahasa yang digunakan kurang pas, akhirnya publik malah salah paham.
“Pernah suatu kali,” kenangnya, suara agak rendah, “Publik malah membenci sebuah kebijakan baru yang kami sosialisasikan. Penyebabnya sepele: salah pilih kata dalam satu kalimat saja. Tapi dampaknya luar biasa.”
Ceritanya terpotong sejenak saat pesanan sate dan sop kambing kami tiba. Diiringi denting musik keroncang dari speaker tukang sate, kami menyantap hidangan. Lalu, dia balik bertanya, “Menurutmu gimana?”
Menerjemahkan Bahasa Kaku untuk Telinga Awam
Hampir semua orang di posisi humas atau public relation pernah mengalami dilema ini. Kebijakan resmi entah itu Perpres, Permen, atau Surat Edaran biasanya dirumuskan dengan bahasa yang sangat akademis. Ciri-cirinya jelas: formal, terstruktur, penuh istilah teknis, dan kalimatnya berlapis-lapis.
Artikel Terkait
BRIN Kerahkan Drone Radar Penembus Tanah untuk Evakuasi Korban Banjir Sumatera
Kemensos Rinci Santunan Rp 15 Juta hingga Bantuan Hidup Harian untuk Korban Bencana Sumatera
Tim Gabungan Sidak Pasar dan Gudang Bulog Pekanbaru, Pastikan Stok Aman Jelang Libur Natal dan Tahun Baru
Bakti Sosial di Muara Angke: Dukung Perempuan Pesisir, Wujudkan Asta Cita