Dan seperti biasa, kedua pihak saling tunjuk. Masing-masing mengklaim pembelaan diri dan melemparkan tuduhan serangan terhadap penduduk sipil. Sampai saat ini, Kamboja sendiri belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan Bangkok tadi.
Di tengah kebuntuan ini, muncul klaim dari jauh. Presiden AS Donald Trump, yang sebelumnya pernah ikut campur dalam konflik perbatasan ini, pekan lalu menyatakan bahwa kedua negara sebenarnya telah menyetujui gencatan senjata yang dimulai Sabtu malam.
Klaim itu langsung dibantah keras oleh Bangkok. Faktanya, pertempuran justru terus berlanjut setiap hari sejak 7 Desember, meluas ke tujuh provinsi di setiap sisi perbatasan. Perdana Menteri Kamboja Hun Manet memang menyebut dukungannya pada inisiatif gencatan senjata yang diusung Malaysia ketua ASEAN dengan partisipasi Washington. Tapi di lapangan, situasinya berbeda sama sekali.
Kamboja, yang secara persenjataan dan anggaran militer dianggap kalah dari Thailand, melaporkan eskalasi serius. Pada hari Senin, mereka menuduh pasukan Thailand telah memperluas serangan "jauh ke dalam" wilayahnya. Bahkan, Phnom Penh menuding provinsi Siem Reap rumah bagi kompleks kuil Angkor yang legendaris turut dibombardir untuk pertama kalinya dalam gelombang pertempuran kali ini. Sebuah klaim yang, jika benar, tentu sangat mencemaskan.
Angka korban terus bertambah. Menurut data pejabat setempat, pertempuran yang melibatkan artileri, tank, dan jet tempur Thailand ini telah menewaskan 16 tentara Thailand, satu warga sipil Thailand, dan 15 warga sipil Kamboja. Sebuah harga yang terlalu mahal untuk perbatasan yang seharusnya damai.
Artikel Terkait
InJourney Gelontorkan Rp 1,7 Miliar untuk Korban Banjir Bandang Sumatra
Kapolda Riau Serukan Tahun Baru Tenang, Solidaritas untuk Korban Bencana
Aspal Baru, Harapan Baru: Warga Pekanbaru Rasakan Janji Perbaikan Jalan
Albanese Gerakkan Palu Besar Usai Tragedi Hanukkah Sydney